Powered By Blogger

31 Okt 2010

Makna Ungkapan Panjang Tangan

Mungkin ini kelihatan sepele. ‘Hanya’ soal arti kiasan yang acap muncul di pelajaran Bahasa Indonesia. Dan sering pula terpakai di media seperti koran-koran harian. Utamanya di berita-berita kriminal. Tapi, ketika ini menyangkut kehormatan orang-orang yang harus dimuliakan karena Islam, maka persoalannya tak lagi sederhana. Karena salah mengartikan, atau keliru menyebutkan ungkapan bisa mengandung konsekuensi berkebalikan. Seperti menghinakan orang-orang yang mulia, dan memuliakan orang-orang yang hina.

Tanpa berpikir panjang, setiap siswa ketika ditanya maksud ‘panjang tangan’ pasti menjawab, “suka mencuri.” Sederhana tampaknya. Kalau saja tidak ada nash (dalil) khusus yang menggunakan istilah ini, maka tak ada persoalan dengan kiasan dan makna yang dimaksudkan. Masalahnya, ada dalil yang menunjukkan arti ‘panjang tangan’ yang sangat jauh dan bahkan berkebalikan dengan yang dipahami orang kebanyakan.

Dalil yang dimaksud adalah hadits Aisyah rdlh, bahwa Nabi saw berkata kepada para istrinya menjelang wafatnya,

“Yang paling cepat menyusulku (wafat) adalah yang paling ‘panjang tangannya’ di antara kalian.” (HR Muslim, juga Bukhari dengan redaksi yang sedikit berbeda)

Aisyah menceritakan, bahwa ketika itu para istri-istri Nabi saw saling mengukur tangan masing-masing untuk mendapatkan siapa yang paling panjang tangannya. Didapatkan bahwa yang paling panjang tangannya adalah Saudah rdlh. Tapi, ternyata yang pertama kali wafat setelah Nabi saw di antara istri-istri beliau adalah Zaenab rdl. Maka tahulah mereka, bahwa maksud sabda Nabi ‘yang paling panjang tangannya’ adalah yang paling banyak sedekahnya. Karena mereka menilai memang Zaenab adalah istri Nabi yang paling banyak sedekahnya.

Mari kita perhatikan, apa jadinya jika ungkapan ‘panjang tangan’ itu diartikan dengan suka mencuri? Tentu akan mengandung konsekuensi pelecehan terhadap istri Nabi saw. Meskipun, bisa saja seseorang berkilah bahwa khusus hadits ini konteksnya lain dari ungkapan yang biasa dipakai dalam konteks keindonesiaan. Namun, berhati-hati adalah lebih baik. Apalagi, tak ada dalil dengan konteks lain yang menunjukkan makna negatif untuk kiasan ‘panjang tangan’.

Di kasus lain bahkan ada seorang sahabat yang dijuluki dengan ‘Dzul Yadaini’, orang yang panjangtangannya. Ukuran tangannya yang memang panjang menjadikan beliau mendapatkan gelaran itu. Dan hadits Bukhari, Muslim dan yang lain merekam kata Dzul Yadaini yang nama aslinya al-Khirbaaq, untuk suatu peristiwa yang menunjukkan keutamaan beliau. Beliaulah satu-satunya yang berani mengingatkan Nabi saw tatkala beliau terlupa mengerjakan shalat Ashar dengan dua rekaat saja. Setelah yakin, Nabi saw bersabda,

صَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ

Benarlah Dzul Yadaini.” (HR Bukhari)

Lalu beliapun melakukan sujud syahwi, dan kaum muslimin mendapatkan faedah besar dengan peristiwa tersebut. Karena kita menjadi tahu, apa yang harus kita lakukan saat terlupa rekaat shalat yang kita lakukan.

Jadi, hati-hati memilih diksi, juga memaknai ungkapan dan kiasan. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Komitmen Seumur Hidup

Keputusan memilih Islam sebagai ‘way of life’, meski banyak di antara kita terlahir sebagai orang Islam, sebab nenek buyut kita juga adalah orang-orang Islam, tentu bukanlah sikap main-main. Ia harus berasal dari kesadaran sepenuh keyakinan karena pilihan ini akan membawa perubahan besar dalam hidup kita. Kualitasnya di dunia, serta hasil akhirnya di akhirat. Pilihan yang mengejawantah dalam bentuk ubudiyah dalam puncak kecintaan dan ketundukan kepada Allah yang Mahaagung dan Maha Pencipta segala yang wujud di mayapada.

Pilihan ber-islam, adalah pilihan cerdas yang tidak pantas untuk dipermainkan, apalagi disia-siakan. Tidak sepatutnya kita bersantai-santai, bermalas-malas, hingga melakukan diskriminasi atas tuntutan pengamalannya. Karena, ia bukanlah pilihan bingung yang tidak membawa kepada keyakinan dan kesiapan berkorban untuk mengambil risiko karena telah memilihnya. Ia adalah pertaruhan hidup mati, selamat tersesat, serta bahagia celakanya kita.

Kita tidak bisa berkomitmen kepadanya hanya saat lapang, memiliki waktu luang, kondisi jiwa tenang, serta saat memberikan keuntungan dan kemenangan. Atau hanya ketika kita sakit, terhimpit, serta hidup terasa sulit. Tergopoh-gopoh kita memasrahkan diri kepada Allah pada saat merasa butuh, sedang pada banyak kesempatan yang lain kita bersikap acuh. Tidak! Keislaman kita terlalu agung dan mulia dibanding perlakuan seperti itu.

Karena Islam bukanlah ibarat sebuah klub dimana kita bisa datang dan pergi semaunya bila telah membayar iurannya. Atau semisal panti sosial yang kita kunjungi saat membutuhkannya. Atau seperti rumah sakit yang kita hampiri saat sakit. Yang setelah semuanya normal dan baik-baik saja, kita bergelimang kenikrnatan, kelezatan, dan naungan yang nyaman, boleh meninggalkan dan mengabaikannya.

Seringkali, penyebab lemahnya kita berkomitmen bukanlah karena kurangnya ilmu dan kesadaran akan datangnya kematian. Namun, ia muncul sebagai buah lemahnya iman dan cinta akan dunia yang berlebihan. Sebuah kerusakan di dalam kalbu, bukan di akal belaka! Maka terapinya adalah memperhatikan kebersihan kalbu dari berbagai kotoran dan mengobati berbagai penyakitnya itu.

Kita tidak ingin mendahulukan kelezatan sesaat dan kesenangan semusim di dunia, serta mencari kegembiraan sementara, dengan membayar kesedihan sepanjang masa di akhirat sana. Menceburkan diri ke dalam sumur maksiat dan keinginan rendah lagi hina, dengan berpaling dari ketaatan dan cita-cita mulia. Kita tidak ingin berada di bawah tawanan setan, di lembah kebingungan, dan terbelenggu di dalam penjara hawa nafsu.

Maka, memilih menjadi seorang muslim adalah ujian di atas ujian. Ia butuh mujahadah yang serius dan keteguhan yang utuh untuk menghadapi semua konsekwensinya. Ialah sebenar-benar sarana kita mengabdi kepada Allah, yang kita tidak akan pernah melepaskan pegangannya kecuali bersamaan dengan nafas terakhir yang keluar dari diri kita. Ya, hingga kematian datang menjemput kita!

Sebuah komitmen seumur hidup!


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Tiada kata Gagal Sebelum datang Ajal


Setiap orang mungkin pernah merasakan pahitnya kegagalan. Target yang tidak tercapai, perjuangan yang tak membuahkan hasil sesuai keinginan, atau bahkan permohonan yang tak kunjung terkabulkan.

Manusiapun beragam dalam menyikapi kenyataan seperti ini. Ada yang sedih ketika tak lulus sekolah, ada yang depresi lantaran gagal menjadi pejabat, stress lantaran usahanya gulung tikar, dan bahkan ada yang bunuh diri karena gagal menikah dengan orang yang dicintainya. Intinya adalah putus asa dan berat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.

Tak Ada Istilah Gagal, Kecuali dalam Satu Hal

Sebenarnya, tak ada istilah gagal dalam berusaha, selain kegagalan dalam menyikapi hasil. Inipun, masih ada peluang untuk perbaikan. Hanya ada satu kegagalan yang fatal, yang benar-benar dikatakan gagal, yakni gagal dalam mengisi hidup hingga datangnya ajal.

Kalaupun ada tujuan yang belum mampu didapatkan, secara hakikat bisa jadi bukan bermakna kegagalan. Bisa jadi, penangguhan keberhasilan itu merupakan anugerah. Agar kita mau bermuhasabah, lalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Seandainya keberhasilan langsung wujud, mungkin tak ada waktu lagi untuk berbenah. Seyogyanya, seorang muslim langsung bermuhasabah begitu tujuan yang hendak diraih itu meleset.

Pertama, apakah tujuan tersebut benar-benar sesuatu yang disyariatkan, atau bahkan bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan dengan syariat, maka bersyukurlah ketika gagal, karena berarti Allah masih sayang kepadanya. Dia hendak menghindarkannya dari sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Maka ia bukan orang yang gagal, tapi sukses dalam menghindari suatu keburukan.

Namun jika ternyata yang belum berhasil diraihnya adalah suatu tujuan yang mulia, hendaknya ia kembali introspeksi terhadap cara yang dia tempuh. Apakah menggunakan cara yang haram, ataukah yang diijinkan oleh syariat. Jika caranya haram, maka cobalah kembali dengan cara yang sesuai syar’i, karena Allah tidak menghendaki sesuatu yang mulia diraih dengan cara yang hina.

Jika ternyata caranya juga sudah sesuai syar’i, namun belum juga berhasil, ada baiknya melihat makasib (usaha) secara kauni. Dengan bahasa kekinian, apakah usaha tersebut telah termenej dengan baik, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, maupun kontrolnya? Karena bisa jadi kegagalan (sementara) itu disebabkan kurangnya pengetahuan, kesungguhan atau kedisiplinan dalam berusaha. Dengan kegagalan tersebut, Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan kesungguhan kita dalam berusaha. Bukankah ini berarti keberhasilan dalam memperbaiki diri? Bahkan keberhasilan seperti yang diinginkan segera mengikuti insya Allah. Perhatikanlah seekor semut yang membawa beban berat menuju sarangnya di ketinggian pohon. Berapa kali ia terjatuh, sebanyak itu pula ia bangkit dan berusaha, hingga akhirnya ia berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. (Abu Umar Abdillah)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hidayah Lambat Karena Adat


Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.

Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.

Adat, Hambatan Paling Berat

Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.

Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi SAW, selain beban untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,

Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia

Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela

Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela

Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,

“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)

Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, ”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier rahimahullah.

Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…! Ini sudah tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih mereka utamakan.

Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era jahiliyah Arab.

Kesesatan yang Dilestarikan

Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.

Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan simbol-simbol Islam.

Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”

Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.

Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW,

لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً

“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)

Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.

Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan), atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.

Padahal secara tegas Nabi SAW bersabda,

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه

“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah,

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ).”(QS. Yusuf:106)

Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.

Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.

Meninggalkan Adat Demi Syariat

Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan adat nenek moyang.

Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad (SAW) serukan atas kalian?” Abu Sufyan menjawab,

يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة

“Dia (Muhammad SAW) mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.

Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)

Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?

Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, katimbang membanggakan sukunya.

Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi SAW tentang mereka,

لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ

Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar Abdillah)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sembilan Bulan Kayuh Sepeda untuk Naik Haji

Ia memulai perjalanan panjang mereka pada 7 Februari 2010 melalui Botswana, Zimbabwe, Mozambique, Malawi, Tanzania, Kenya, Turki, Suriah dan Yordania sebelum mencapai Saudi
Hidayatullah.com--Mungkin dua pemuda Afrika Selatan ini terinspirasi oleh film Le Grand Voyage (2004). Film terbaik versi Venice Film Festival ini mengisahkkan perjalan darat seorang ayah dan anaknya untuk menunaikan ibadah haji dari Paris ke Mekkah.

Sang anak bertanya kepada ayahnya, "Mengapa Ayah tidak naik pesawat terbang saja ke Makkah?."

Sang ayah menjawab, "air laut baru akan kehilangan rasa pahitnya setelah ia menguap ke langit," jawabnya.

Ya, begitulah air laut menemui kemurniannya. Ia harus mengangkasa melewati awan. Inilah mengapa lebih baik naik haji berjalan kaki ketimbang naik kuda. Lebih baik naik kuda ketimbang naik mobil. Lebih baik naik mobil ketimbang naik perahu. Lebih baik naik perahu ketimbang naik pesawat terbang. Begitu kira-kira penjelasan sang ayah kepada anaknya.

Nah, mirip cerita dalam film itu, dua orang pemuda asal Cape Town ini telah mengayuh sepeda dalam perjalanan dari kampung halaman ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam ke lima tahun ini.

Nathim Cairncross, 28, dan Imtiyaz Ahmad Haron, 25, menceritakan sebagian pengalaman dan niat "gila" mereka pada Arab News Rabu (27/10) di Tabuk, daerah perbatasan Arab Saudi Syiria. Mereka mengaku sangat bahagia karena impian mereka untuk melaksanakan haji tahun ini sebentar lagi bisa
terwujud.

"Mengayuh perjalanan ke Kerajaan Saudi dari Cape Town adalah pengalaman yang melelahkan. Kami ingin melakukan perjalanan dengan cara ini sehingga kami siap untuk mengalami kerasnya melakukan ibadah haji yang adalah ibadah fisik, "kata Cairncross, yang berprofesi sebagai kontraktor perencana tata kota.

Ketika ditanya mengapa mereka memilih naik sepeda, Cairncross berujar, "Ini memberi kami banyak kesempatan bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda di berbagai negara. Selain itu, kami juga bisa berdakwah dimanapun kami mau di tempat-tempat persinggahan kami."

Pantas saja kedua pemuda ini bisa berdakwah. Pasalnya baik Cairncross dan Haron adalah mahasiswa hukum Islam dan telah mempelajari Syariah. "Saya bergabung dengan sebuah universitas dan menyelesaikan kursus dalam perencanaan kota dan saya bekerja di bidang konstruksi," kata Cairncross.
Sementara Imtiyaz Ahmad Haron adalah juga Sarjana Ekonomi.

Keduanya memulai perjalanan panjang mereka pada 7 Februari 2010. Mereka menggoes sepeda mereka melalui Botswana, Zimbabwe, Mozambique, Malawi, Tanzania, Kenya, Turki, Suriah dan Yordania sebelum mencapai perbatasan Saudi.

Total negara yang dilewati adalah sembilan negara dalam sembilan bulan perjalanan. "Pemeliharaan sepeda hanya mengganti ban sepeda yang bocor,memompa dan memperbaiki pedal rantai dari waktu ke waktu," kata Cairncross.

Tentu ini merupakan perjalanan yang sama sekali baru, apalagi ini adalah pengalaman haji pertama mereka. "Kami bisa saja datang dengan pesawat, tapi kami sudah niat melakukan perjalanan berbeda, jadi kami memilih untuk menggunakan sepeda kami, dan bersepeda adalah sesuatu yang kami sukai,"
ujar Cairncross menambahkan.

Sebagai musafir, keduanya mengayuh pedal sepeda sekitar 80 hingga 100 kilometer per hari dan beristirahat di mesjid atau tenda setelah senja dan berangkat lagi setelah subuh. "Kami beruntung orang-orang sangat kooperatif dan sopan. Pada setiap tempat yang kami melewati, mereka menyambut kami dan senang mengetahui bahwa kami melakukan perjalanan untuk haji," ujar Cairncross.

Dalam hal makan mereka berdua juga kerap mendapatkan makanan gratis. Mereka sering mendapatkan tawaran makan bersama. Yang mengharukan, dengan anggaran yang minim, kedua pemuda Afrika Selatan ini juga sering mendapatkan bantuan sumbangan uang dari orang-orang yang bertemu mereka.

Ditanya tentang kendala keduanya menjawab bahasa. "Khusus memasuki jazirah Arab melalui Suriah dan Yordania kami sudah persiapkan kamus praktis bahasa Arab. Berinting lagi para petugas perbatasan sangat baik ketika mengetahui kami mengayuh ribuan kilometer untuk berhaji," katanya.

Uniknya, mereka berdua berjanji akan melakukan perjalanan balik ke Cape Town melalui jalur Afrika. "Sebelumnya kami menyusuri pantai timur Afrika, selepas musim haji kami akan melalui Afrika Barat," kata Haron. [mch/Timur Arif/hidayatullah.com]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Pilih Jadi Dokter atau Calon Ibu?

Bila aku telah lolos menjadi ibu yang baik, maka kelak aku akan memasang plang praktik dokter ku!
Hidayatullah.com--Menjadi dokter adalah impianku bahkan sejak aku berusia 2 tahun (kata Abi). Menurut beliau, sejak kecil aku sangat menghayati cita-citaku itu, katanya aku sangat berjiwa sosial; tak ragu untuk mengulurkan tangan dan memberi semaksimal mungkin bila mendapati orang lain sedang kesusahan, lebih lebih pada orang sakit (contoh kecil dan yang sering, saat nenekku jatuh sakit, maka aku adalah orang pertama yang sangat tanggap dan berusaha agar nenekku sembuh). Lalu katanya aku adalah anak yang cerdas dan kritis sejak kecil, rapi dan suka bersih-bersih (kebiasaan menjaga kebersihan sangat berpengaruh pada profesi ini), namun ketika aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal dengan baik tentang genderku beserta kodrat-kodratnya.

Aku adalah seorang wanita…

Aku adalah seorang Muslimah…

Dan aku adalah calon ibu!!!

Siapapun pasti setuju bahwa Ibu adalah jabatan yang paling berat yang pernah diemban dalam sejarah manusia (bahkan Rasulullah SAW pun mengakuinya dengan member penghargaan 3 kali lipat dalam hal kemulyaan, penghormatan dan keutamaan dibandingkan posisi Ayah). Bukan memasak, bersih bersih, mencuci, menyiram bunga, merawat kucing atau pekerjaan remeh temeh seperti itu tugas utama seorang wanita, melainkan “menjadikan anak-anaknya sebagai generasi hebat”. Mungkin kata hebat sangatlah subyektif dan tak memiliki parameter tegas dalam angka-angka, namun siapapun pasti setuju bahwa citra “hebat” seorang manusia adalah mereka yang berada di jalan yang benar, sholih sekaligus mushlih, cerdas akal sekaligus nuraninya, sehat jasmani maupun ruhaninya, berjiwa mulia, rendah hati namun tak rendah diri, tegas namun lemah lembut, mandiri, bermental baja, tegar, teladan sempurna dan lain sebagainya. Dan yang perlu digaris bawahi adalah semua orang tau bahwa mencetak manusia semacam ini bukanlah proyek kecil dan mudah!!!

Menyadari agungnya tanggung jawab yang akan ku pikul kemudian aku menghitung-hitung kelebihan dan kekuranganku, mampukah aku menjalankan tugas utamaku sebagai wanita dengan segala yang ku miliki dan tak ku miliki saat ini? Inilah perhelatan besar batinku. Antara bersikeras mewujudkan cita-cita pribadi yang ku bangun sejak usia 2 tahun atau menjadi ibu rumah tangga yang total jalankan fungsinya sebagai tarbiyah ula bagi anak-anaknya, sang penerus peradaban!

Menginjak masa akhir SMU aku membuat suatu keputusan besar, aku menyampaikan pengunduran diri kepada Abi, aku mengundurkan diri dari mimpi menjadi Dokter, Senator kampus dan General Director of WHO. Sungguh di luar dugaan, Abi hanya menjawab:

“Mbak masih kecil”.

Astaghfirullah… aku benar benar tak mengerti maksud Abi, mengapa Abi meremehkan aku sedemikian rupa? Apakah hafalan Qur’anku tak cukup untuk menjadi seorang Ibu yang baik? Apakah kelembutan dan kebijaksanaanku tak cukup untuk jadi Ibu panutan anak-anaknya? Apakah ketaatanku tak cukup untuk membuktikan bahwa aku bisa jadi istri yang amanah? Apakah dengan menimba ilmu di pesantren selama 7 tahun tak cukup bagiku untuk mendidik anak anak di jalan Allah dan menjadi ibu rumah tangga yang mampu menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga dengan baik tanpa perlu khodimah?

Langit menyaksikan kekecewaanku dan langit pun menyaksikan kesungguhan ucapan Abi, manusia yang 34 tahun lebih awal hidup di dunia ketimbang aku.

Bertahun tahun aku merajut impian kembali, belajar dengan baik di Fakultas Kedokteran Unair, aktif di BEM Fakultas maupun Universitas, menjadi senator di Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia selama 3 tahun (dengan jabatan terakhir sebagai Majelis Pertimbangan Agung), aktif di Lembaga Da’wah Kampus, tetap mengikuti halaqoh dan kajian kajian lain, tetap muroja’ah al-Qur’an untuk menjaga hafalanku, aktif di lembaga kemanusiaan lainnya, pernah dalam masa “jatuh”, lalu bangun, jatuh lagi, bangun lagi, terus seperti itu. Semua ku lakukan dengan ikhlas, berharap ridho Allah dan orangtua. Ikhlas karena aku tak tau, apakah semua yang ku lakukan ini membawa manfaat atau mudhorot bagiku, aku hanya berprasangka baik pada Allah azza wa jallah, Tuhanku!

Hingga di tahun terakhir pendidikanku, aku dilamar oleh seorang lelaki (yang tak bisa ku katakan baik, karena ia terlalu sempurna untuk sekedar dibilang baik. Ia adalah gambaran total dari lelaki yang kusebut-sebut sosoknya dalam doa doaku bahkan sejak aku masih belum mengerti betul apa itu pasangan hidup!).

Dengannya aku berdiskusi tentang konsep rumah tangga dan peran masing-masing di dalamnya. Well, Sesi yang paling ku suka adalah ketika ia memahamkanku bahwa memasak, bersih bersih, dll merupakan kewajibannya sebagai suami, tulang punggung keluarga, sang pencari nafkah, yang nafkah itu bukan hanya dalam bentuk “MENTAHAN” saja. (Duh, senangnyaaa hatiku).

Dalam perjalanan dan diskusi panjang kami, kini aku mengerti dan paham betul, bahwa semua yang ku lewati kemarin, jejalan ilmu dan segala kesibukan juga padatnya jadwalku, itu adalah bekal spesial untuk jadi istri yang amanah, menyejukkan mata, hati juga menentramkan jiwa dan pikiran, sekaligus sebagai Ibu yang menjadi sumber ilmu yang tak habis habisnya digali dan panutan dalam segala hal bagi anak-anaknya. Akhirnya aku tetap pada kesadaranku yang dulu, bahwa aku adalah wanita yang di pundakku terletak keseimbangan rumah tangga dan masa depan anak-anakku. Bila aku mampu (atau hanya sekedar merasa mampu) membantu suamiku dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mencari nafkah, maka akan ku lakukan. Artinya, bila aku lulus jadi istri dan Ibu yang amanah, barulah aku memasang plang praktik dokter dan kembali aktif di politik maupun lembaga sosial lainnya.

Maaf sebelumnya kawan, bukan aku mengkhianati sumpah dokter dari Hippocrates, toh bisa saja kita jadi ibu rumah tangga sekaligus jadi dokter, aktivis, politisi atau apapun itu karena semua wanita bisa bekerja di luar sekaligus punya anak-anak yang lucu, tapi tak semua wanita mampu mencetak generasi jempolan sambil bekerja keras di “luar”.

Sekali lagi kawan, semua orang tau bahwa mencetak manusia semacam “itu” bukanlah proyek kecil dan mudah! Aku masih tetap Dokter yang dengan senang hati membantu siapapun yang membutuhkan, silahkan datang, tapi saya tidak memilih praktek terjadwal dan terikat kontrak apapun.

Aku pun insya Allah masih akan meneruskan pendidikan spesialis dan terus menerus meng-up date ilmu baik kedokteran maupun non-kedokteran melalui seminar ataupun kajian kajian, mengutip perkataan calon suamiku:

“Mendapatkan istri yang bisa membantu tugas suami adalah berkah yang besar bagi suami.” Sekali lagi, bila suatu saat aku “mampu membantu” suamiku, akan ku sambut panggilan jihad di ranah itu dengan segenap hati”!

Kini aku tau maksud Abi dengan kenapa aku disebut “masih kecil”. Mungkin barangkali dalam hati beliau melanjutkan: “Belajarlah lebih banyak Nak, jadilah Dokter yang menghargai ilmu dan amalnya, jadilah aktivis senat dan aktivis da’wah yang mampu menahkodai kapalnya dengan baik, jadilah apapun yang kau mau Nak, karena itu adalah bekal utama untuk menjadi Ibu yang sempurna! Karena dalam buaian dan belaianmu lah lahir Pemimpin Hebat! Teruskan proses belajarmu Nak, jadilah Ibu yang sempurna!”.

Menetes air mataku menyadari cinta Abi yang begitu besar dan ternyata Beliau mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Terima kasih Abi, Mama (Mama yang Ibu Rumah Tangga yang penuh potensi, yang membangun bisnis salon di rumah saja), terima kasih untuk telah mendidikku dengan sempurna. Kini giliranku untuk memanfaatkan warisan terbesarmu ini.

Kini, saya paham kenapa saya harus belajar sebanyak-banyaknya karena akan mengamalkan dan mengajarkan yang terbaik.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Masih Ada Satu Juta Orang Antri jadi Calon Jemaah Haji


Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag M Abdul Ghafur Djawahir mengatakan, masih ada satu juta calon jemaah antri

Hidayatullah.com--Antrian calon jemaah haji Indonesia sampai sekarang ini sekitar satu juta lebih, karena itu berbahagialah bagi kelompok terbang 15 yang bisa berangkat ke Tanah Suci tahun 2010.

Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama RI, M Abdul Ghafur Djawahir menyampaikan itu ketika melepas calon jamaah haji kloter 15 di Palembang, Sabtu (30/10). Menurut dia, kalau musim haji ia merasa sedih, karena banyak teman-teman yang datang ke rumah ingin cepat berangkat haji.

Antrean sekarang ini sudah lebih satu juta orang, katanya di hadapan calon jamaah haji kloter 15 yang menunggu pemberangkatan ke Tanah Suci. Ia menyatakan, untuk pemberangkatan calon haji itu adanya kuota dan Indonesia sebanyak 221 ribu pada tahun 2010.

"Untuk mengatur supaya adil, maka menggunakan komputerisasi," ujarnya.

Ia mengatakan, dengan sistem itu maka mereka yang duluan bisa dapat nomor urut untuk keadilan. Ia juga menuturkan, kepada calon jemaah haji Sumatera Selatan yang akan berangkat ke Tanah Suci kalau cuaca di Arab Saudi dari tingkat derajatnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Ia juga mengimbau, para calon jemaah haji untuk banyak-banyak minum air zam-zam supaya tetap sehat, sehingga bisa menjalani ibadah dengan baik. "Selain itu, calon jemaah haji juga diharapkan bersabar, karena dengan sekian juta calon haji di sana maka tidak ada kendaraan yang tepat waktu," ujarnya.

Pada kloter 15 calon jamaah haji yang diberangkatkan melalui embarkasi haji Palembang sebanyak 359 orang. [ant/hidayatullah.com]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kurangi Balita Nonton TV

Sunday, 31 October 2010 12:18

American Academy of Pediatrics, merekomendasikan pembatasan nonton TV untuk anak pra sekolah, hanya satu jam saja

Televisi menjadi penyelamat banyak ibu dan para pengasuh saat mengasuh balita. Tidak percaya? Simak saja saat si kecil sibuk berlarian di waktu makan, cara termudah membuatnya duduk diam adalah dengan televisi. Anak terus membuntuti Anda sambil bertanya ini dan itu, 'pergilah menonton tv' bisa jadi kalimat ampuh untuk menjauhkan anak Anda tanpa rasa bersalah.

Seperti diberitakan di livescience, sebuah penelitian terbaru di Amerika menemukan bahwa anak-anak terlalu banyak menonton televisi, bahkan beberapa di antaranya lebih dari 5 jam per hari. Rasanya jika penelitian itu dilakukan di Indonesia, maka hasilnya mungkin akan lebih mencengangkan. Menonton televisi 3 jam, dilanjutkan main video game selama 2 jam, berkutat dengan komputer selama 1 jam, misalnya. Padahal berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan American Academy of Pediatrics, pembatasan paparan layar televisi untuk anak pra sekolah adalah satu jam saja.

Rekomendasi tersebut juga berdasar pada sebuah penelitian tentang hubungan waktu paparan dengan efek negatifnya, yaitu lambat bicara, obesitas, berpotensi memiliki perilaku agresif dan menunjukkan penurunan kemampuan akademik. Studi tersebut dipimpin oleh Dr. Pooja Tandon dari Seattle Children's Research Institute dan University of Washington, yang kemudian dipublikasikan melalui Journal of Pediatrics.

Studi melibatkan 9000 anak usia pra sekolah, yaitu 4 sampai 5 tahun, bersama dengan kedua orang tua dan pengasuhnya. Anak-anak tersebut dikelompokkan sesuai dengan cara pengasuhan, yaitu bersama pengasuh di rumah sendiri atau dititipkan ke saudara, di penitipan anak, di penampungan anak yang kurang mampu, dan yang diasuh oleh orang tuanya saja di rumah. Mungkin yang perlu kita cermati adalah cara pengasuhan bersama pengasuh dan yang dirawat sendiri oleh orang tua mereka, seperti yang banyak dilakukan di Indonesia.

Hasilnya, mereka yang diasuh di rumah menghabiskan waktu di depan layar selama lima setengah jam per hari dan mereka yang bersama orang tuanya menghabiskan waktu sekitar 4 jam per hari. Hal ini menunjukkan anak leluasa untuk menyalakan televisi kapan saja saat berada di rumahnya sendiri.

Penyebabnya bisa ditebak. Selain televisi berperan sebagai babysitter, para orang tua juga merasa lebih aman anak-anaknya di depan televisi seharian daripada keluar rumah untuk beraktivitas bersama teman-temannya. Alasan ini juga tidak bisa dianggap sebagai kesalahan, mengingat berbagai alasan sosial mendasari orang tua untuk bersikap demikian.

Oleh karena itu, Dr Tandon memberikan solusi bukan untuk meniadakan sama sekali televisi bagi anak pra sekolah, namun untuk mengurangi durasi mereka di depan televisi. Solusi pertama adalah dengan menggunakan DVD ketimbang siaran televisi khusus anak-anak, karena durasinya lebih bisa dibatasi. Kedua, matikan televisi saat makan, belajar dan saat istirahat siang. Ketiga, jangan sediakan televisi di kamar mereka. Keempat, biasakan untuk membatasi durasi nonton televisi dari mereka kecil. Kelima, isi kegiatan anak saat berada di rumah agar si kecil tidak merasa bosan dan kemudian menyalakan televise. [kpl/hidayatullah.com]


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger