Powered By Blogger

4 Nov 2010

Cermin Wanita Shalihah

Cermin Wanita Shalihah

Sungguh mulia wanita shalihah. Yaitu, wanita yang menjaga ketaatannya pada aturan-aturan Allah dan rasul-Nya. Setiap untaian kata dan perbuatannya bernilai bagaikan untaian intan yang bermutu tinggi. Ia juga selalu menjaga akhlaknya, terutama sifat malu. Karena ahlak mulia tersebut mencerminkan kekokohan imannya dan kemampuannya menjaga diri (iffah).

Malu adalah akhlak indah dan terpuji. Sifat ini juga cerminan dari kesempurnaan budi pekerti dan perhiasan yang anggun. Sungguh indah jika malu ini menghiasi seorang muslimah. Sifat malu dapat memadamkan keinginan untuk berbuat tercela. Juga menahan keinginan menampilkan perhiasan dan auratnya bagi lelaki yang bukan mahramnya. Sungguh benar sabda Rasulullah SAW bahwa malu merupakan bagian yang penting daripada iman.

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الإِيْمَانِ

“Iman terdiri dari tujuh puluhan atau enampuluhan cabang. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan Lailaha illallah. Yang paling bawah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu juga termausk cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika sifat malu hilang dari seseorang, dia mudah melakukan berbagai pelanggaran dan tidak segan untuk bermaksiat. Misalnya, tabarruj dan mengumbar aurat secara terang-terangan. Padahal, aurat adalah sesuatu yang seseorang harus merasa malu jika tersingkap.

Pada zaman dahulu, para shahabiyah adalah wanita yang begitu menjaga kehormatan mereka. Aisyah, istri Rasulullah SAW, bahkan punya rasa malu yang luar biasa. Aisyah terbiasa berziarah ke makam Rasulullah SAW, yang berada di dalam kamarnya, tanpa berhijab. Ketika ayah beliau, Abu Bakar wafat dan dikebumikan di sebelah makam rasul, Aisyah masih leluasa berziarah tanpa mengenakan jilbab. Tapi, kebiasaan itu berubah ketika Umar dikuburkan di kamarnya bersebelahan dengan makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Setiap kali masuk ruangan itu, beliau mengenakan hijab secara lengkap. Hal itu dikarenakan Umar bukan muhrim bagi Aisyah. Meskipun Umar telah meninggal dan berada di dalam tanah.

Begitu pula ketika ada seorang pria buta yang datang untuk berkonsultasi dengan beliau. Balutan jilbab syar’i yang lengkap menutupi beliau selama menjawab pertanyaan pria ajnabi tersebut. Lalu seseorang bertanya kepada beliau, kenapa harus berjilbab padahal orang tersebut buta? Aisyah justru balik bertanya, “Ia memang tidak bisa melihat. Tapi, apakah saya buta?”

Selain itu ada Sayyidah Fatimah Az-Zahra, shahabiyah panutan kaum muslimah, beliau adalah orang yang pertama membuat keranda bagi jenazah. Pada waktu itu, memang masih umum pelayat takziyah mengusung mayat tanpa keranda seperti yang kita kenal hari ini.

Fatimah binti Rasulullah merasa bahwa ajalnya telah dekat. Karena Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa beliaulah anggota keluarga yang pertama kali menyusulnya wafat. Putri Rasulullah SAW yang juga istri Ali Bin Abi Thalib ini berpesan kepada Asma’ binti Umais, yang hampir setiap hari menjenguknya. “Saya kurang senang atas apa yang diperbuat terhadap wanita jika meninggal. Mereka hanya ditutupi dengan kain, sehingga bentuk badannya terlihat,” kata Fatimah kepada Asma’, istri Abu Bakar As-Shiddiq.

“Apakah engkau mau aku tunjukkan sesuatu yang pernah aku lihat di Habasyah.” ujar Asma’ yang pernah hijrah ke negeri tersebut.

Asma’ lalu membuat semacam keranda. Kerangkanya terbuat dari pelepah kurma, sedangkan bagian luarnya ditutup dengan kain. Dengan begitu, jenazah yang dibawa dengan keranda itu tidak terlihat dari luar. Begitu Fatimah melihat keranda itu, beliau sangat gembira hingga tertawa. Beliau lalu berpesan, “Nanti, jika saya meninggal, kamu dan suamiku, Ali yang akan memandikanku, dan jangan ada orang lain yang ikut memandikanku. Setelah itu, buatkan keranda seperti itu untukku.”

Menutup aurat adalah ketetapan mutlak dari Allah SWT. Dalam sebuah ayat disebutkan (artinya), “Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. An-Nur: 31).

Perhiasan atau az-ziynah yang diperintahkan untuk ditutup dengan hijab termasuk hingga anggota tubuh yang tersembunyi seperti telinga, leher, rambut, tangan, dan betis. Ketetapan ini demi menjaga penampilan wanita muslimah agar lebih terhormat. Dan juga untuk membedakannya dari wanita non muslim atau wanita fajir.Selain itu, hendaknya wali dari seorang muslimah, semisal ayah, saudara lelaki atau suami, ikut menjaga. Tumbuhkan rasa ghirah jika menyaksikan istri, saudari atau putrinya keluar rumah tanpa menutup aurat mereka dengan hijab yang syar’i. Karena berhijab itu karena menjalankan perintah Allah bukan karena ingin mengikuti tren fesyen yang sedang digandrungi.

Hukum Syariah memerintahkan agar wanita memilih pakaian yang dapat menutup tubuh dan menyembunyikan warna kulit. Bukan pakaian modis nan seksi yang mengumbar bagian tubuh tertentu. Selain itu juga menghindari warna yang mencolok, karena itu mengundang perhatian orang banyak. Banyak yang mengatakan bahwa wanita akan tampak menarik dengan berbagai aksesoris dan balutan busana yang pas di badan, apa lagi bila busana yang dikenakan mengikuti lekuk bentuk tubuh yang memakainya. Gaya busana seperti itu sesungguhnya adalah gaya wanita jahiliyah. Konon wanita pada zaman itu suka memamerkan wajah ayunya, mengurai rambut hingga terlihat leher yang jenjang dan perhiasannya. Bersuara manja dan serak-serak basah untuk menarik perhatian. Namun aneh bin ajaib, justru gaya kuno tersebut yang ditiru oleh manusia modern hari ini. Naudzu billah.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Serbuan Virus Materialisme

Serbuan Virus Materialisme

Acara mentoring di masjid kampus itu sudah usai. Seorang peserta yang tadinya tekun mendengarkan mendekat kepada sang Ustadz. “Ustadz,…boleh berkonsultasi sebentar?” tanyanya. “Boleh,…silahkan!” jawabnya sambil menatap sekilas pemuda yang dikenal aktif mengikuti acara mentoring di masjid kampus tersebut.

“Begini Ustadz,…saya ini sambil menyelesaikan tugas akhir, alhamdulillah, sudah sambil bekerja”. Sang mentor menatapnya tanpa berkomentar, menunggu kelanjutan kalimatnya. “Saya merasa sudah saatnya untuk menikah, agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa”. “Wah,itu niat yang bagus, lha calon yang diinginkan seperti apa kriterianya?” tanya sang mentor. Dengan ekspresi menaruh harap pemuda itu berkata, “Tolong carikan saya calon istri yang seperti ‘fulanah’ (pemuda itu menyebut artis glamour papan atas yang selalu memamerkan belahan dada dan pusar yang ditindik)”. Mendengar penuturan itu sang mentor terdiam dan memerah wajahnya.

Penyucian Jiwa
Sesungguhnya, fragmen yang diangkat dari kisah nyata tersebut merupakan gambar kegagalan tarbiyah menyucikan jiwa manusia. Karena hidayah memang bukan diberikan sang murabbi, bahkan Nabi sekalipun. Tapi yang pasti, penyebabnya Hal itu dikarenakan pengajaran Islam ini memang tidak akan efektif mengubah pikiran, perasaan dan perilaku manusia tatkala penyucian jiwa ini gagal. Mari kita simak firman-Nya :

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah 151)

Ayat yang menyebut substansi seperti itu, dengan redaksi yang berbeda termaktub pula di surat Al-Baqarah 129, Ali ‘Imran 164 dan Al-Jumu’ah 2. Allah Ta’aalaa konsisten menyebut pentingnya penyucian jiwa sebelum pengajaran Al-Qur-aan dan As-Sunnah dilaksanakan. Ibarat menyemai benih, lahan mesti dibersihkan dari berbagai faktor yang dapat mengganggu dan merusakkan pertumbuhannya. Jika penyucian jiwa ini gagal, sementara pengajaran Islam tetap dipaksakan, dikhawatirkan hadir generasi yang secara zhahir mengamalkan sebagian dari syari’at dan syi’ar Islam, namun sejatinya pola pikir dan perasaannya tidak mencerminkan Islam. Pada suatu kondisi, performa seperti itu dapat memfitnah dan mencitra burukkan Islam. Orang banyak akan bilang, “Katanya Islam, kok kelakuannya seperti itu!”

Ta’jub Kepada Materi Duniawi dan Simbol-simbolnya
Jika diumpamakan virus, materialisme menyebar melintasi sekat-sekat kelompok dan faham yang secara dhahir diakui dianut oleh manusia. Materialisme tidak peduli menjangkiti penganut paham sosialisme yang seharusnya bertentangan dengan dasar pahamnya. Atau para pendeta, uskup dan rahib. Atau para pemimpin sufi yang menyangka dirinya zuhud kepada dunia. Tak terkecuali para pemuda yang mendambakan dirinya menjadi pilar kebangkitan Islam masa depan. Penetrasi paham ini begitu mudah dan massif lantaran menyentuh kecenderungan dasar manusia yang memang paling mudah untuk dibangkitkan.

Jika Qorun matrialistik, orang dapat dengan mudah menerima kenyataan itu karena dia memang bergelimang harta. Yang aneh, ada kelompok manusia lain yang nasibnya tidak seperti Qorun, tetapi himmah-nya seperti dia. Orang-orang miskin yang cinta dunia, tetapi cintanya tidak kesampaian. Allah mengabadikannya di dalam Al-Qur-aan untuk menjadi i’tibar bagi manusia sesudahnya.

Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia. ‘Duhai sekiranya kita memiliki seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. [Al-Qashash : 79]

Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘AbdulLah al-Fauzan dalam Kitabut-Tauhid menjelaskan keadaan orang-orang yang menginginkan dirinya seperti Qorun, “Mereka mengangan-angankan dan menginginkan memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang materialistis”.

Manusia pada umumnya beranggapan jika seseorang mengenakan baju koko, memakai songkok atau kopiah, apalagi putih, terlebih jika mengenakan jubah, tentu orang tersebut seorang muslim. Bahkan mungkin aktivis. Hal itu tentu tidak perlu dipersoalkan, atau digugat. Yang menjadi persoalan ketika pemuda muslim dengan tampilan harian seperti itu sementara himmah-nya menikahi perempuan seperti artis glamour yang tatkala tampil selalu meng-ekploitasi tubuhnya sebagai komoditas, ini mencengangkan. Tak heran jika sang mentor terdiam karena mendapat surprise.

Tampilan ke-Islam-an periferal yang diperagakan, bahkan rutinitas ibadah harian yang dilakukan tidak mewakili suasana fikiran dan perasaannya yang belum mampu mengusir ruh matrialisme yang bercokol di lubuk hati. Cetusan lisan yang keluar merupakan duta fikiran dan hati yang sejati.

Mungkin pemuda tersebut belum tahu bahwa performa aktif, energik dan atraktif yang diperagakan artis idolanya itu menyatu dengan ruh kekufuran dan materialisme yang bersemayam di dalam kalbunya. Bahkan tampilan fisik luar yang cenderung meng-eksploitasi selera rendah tersebut tidak lebih berbahaya dibandingkan ruh kekufuran yang di dalam hati. Pasalnya, performa membangkitkan libido itu dapat berubah drastis menampilkan cerminan ketaqwaan tatkala hati ter-shibghah keimanan. Sejarah mencatat betapa ugal-ugalannya orang-orang Quraisy Makkah ketika menampilkan kejahiliyahan, tetapi ketika hidayah keimanan telah mewarnai hati tiba-tiba mereka menjadi manusia pilihan yang mengguncangkan dunia.
Hakekat Kemenangan Islam
Kemenangan Islam tidak ditandai dengan penguasaan ummatnya terhadap materi dunia dan kepemilikan mereka terhadap simbol-simbol kekayaan tersebut. Islam memang tidak melarang ummatnya untuk menguasai kekayaan duniawi sepanjang tetap menunaikan hak-haknya secara benar dan proporsional. Adapun hakekat kemenangan Islam menurut Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi rahimahulLaah justru terletak pada kemampuan mengatasi kecenderungan dan pengaruh kecintaan terhadap harta duniawi tersebut, ketika kunci-kunci perbendaharaan itu ada di tangan ummat Islam, dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk menyebarkan hidayah. Demikian paparan ulama kharismatik tersebut di dalam tulisannya Ilal-Islaami min Jadiid.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kekuatan Ilmiyah dan Kekuatan Amaliyah

Kekuatan Ilmiyah dan Kekuatan Amaliyah

Prestasi hamba di sisi Allah, bergantung kepada dua hal; tingkat pengetahuannya dalam mengenali kebenaran dan kebathilan, juga tingkat aplikasinya dalam mengutamakan kebenaran dibanding kebathilan. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebutnya dengan quwwatul ilmiyyah dan quwwatul ‘amaliyyah, kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Dengan dua parameter ini, manusia terpetakan menjadi empat kriteria, meski masing-masing juga masih mungkin posisinya naik turun, tergantung fluktuatisi ilmu dan amalnya.

Empat Tingkatan Manusia

Yang paling rendah derajatnya adalah orang yang buta terhadap kebenaran, tidak pula memiliki andil amal dalam kebenaran. Wawasan mereka hanya sebatas dunia yang fana, langkahnya hanya mengikuti kemauan nafsu belaka. Tak ada tanda-tanda kehidupan dalam hatinya, tak ada bekas-bekas kebaikan dalam perialkunya. Tak ada faedah bergaul dengan mereka, selain bertambah pekak kedua telinga, dan buta mata hatinya dari kebenaran.

Lapisan berikutnya, ada yang memiliki semangat untuk beramal dan tekad untuk berbuat, tapi lemah pengetahuannya tentang kebenaran. Kondisi mereka bertingkat-tingkat, dari yang paling ringan, hingga paling parah. Ada yang tingkat pengetahuannya terlalu global. Ada juga yang tak mampu membedakan dua hal yang berbeda, atau bahkan berkebalikan. Setiap yang hitam disangkanya batu, segala yang berwarna putih disangkanya susu. Pengetahuan mereka juga rabun untuk membedakan antara wali Allah dengan wali setan, antara sunnah dengan bid’ah antara kebaikan dengan keburukan. Hingga karena tipisnya pemahaman, ada yang berbuat dosa dengan niat lillahi Ta’ala.

Peringkat selanjutnya adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran, tapi lemah dalam merealisasikannya, begitupun untuk mendakwahkannya. Tidak ada sinergi antara ilmu dan amalnya. Tingkat ibadah dan keshalihannya tidak sepadan dengan ilmu yang disandangnya. Mereka dipetakan sebagai orang alim selagi dalam batasan teori, dan belum ada tuntutan amal. Tapi, posisinya akan segera berubah menjadi orang awam atau bahkan menjadi bodoh begitu datang tuntutan untuk mengamalkannya. Karena saat itu, hawa nafsu memisahkan diri dari ilmu. Nas’alullahal ’aafiyah.

Tingkatan Paling Mulia

Yang paling tinggi derajatnya di antara manusia adalah; yang memiliki kekuatan ilmiyah, juga kekuatan untuk mengamalkannya. Para Nabi dan Rasul adalah representasi paling utama dalam tingkatan ini. Selanjutnya disusul dengan orang-orang yang setia mengikuti jejak mereka. Allah memuji Para Rasul-Nya dalam firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami; Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (QS Shad 45)

Ilmu yang dimaksud adalah al-basha-ir fid dien, mereka memiliki pemahaman yang sempurna dalam urusan agama, dan mereka juga sempurna dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

Di kalangan pengikut Nabi, tak ada yang mampu meraih derajat imamah fid dien, melainkan orang yang memiliki dua kekuatan ini, baik ilmiyyah maupun amaliyyah. Allah berfirman,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS as-Sajdah 24)

Keyakinan yang benar hanya terwujud dengan ilmu yang benar, kesabaran yang tinggi baru teruji setelah banyak berbuat dan berkorban di atas jalan kebenaran.

Puncak inilah semestinya yang menjadi harapan para pemburu cita-cita, pemilik jiwa-jiwa nan mulia. Posisi di mana ilmu dan amal mencapai titik di atas rata-rata manusia, atau di titik yang mendekati sempurna.

Di titik ini pula, seseorang akan mampu eksis dan istiqamah. Tidak goyah oleh godaan dan bujukan, tetap tegar menghadapi gangguan dan rintangan. Sebagaimana disinyalir dalam hadits Nabi saw,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِى ، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّه

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman pada orang itu dalam masalah agama, Sesungguhnya aku hanya bisa membagi, sedangkan Allah lah yang memberi. Dan umat ini akan terus istiqamah dalam menegakkan perintah Allah, orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan membahayakannya, hingga datangnya keputusan Allah”. (HR.Bukhari)

Dari Mana Percepatan Dimulai?

Untuk mencapai titik yang kita harapkan, perlu dipetakan terlebih dahulu, di mana posisi kita di antara empat kriteria yang ada. Jika ternyata amal masih lebih rendah dari ilmu, amal harus lebih dipacu. Jika amal telah sinergi dengan ilmu, maka biidznillah ilmu akan bertambah. Seperti yang dikatakan para ulama, “barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan membukakan pintu (tambahan) ilmu yang belum dia ketahui.” Ini juga sesuai dengan kaedah bahwa syukur nikmat akan mengundang datangnya tambahan nikmat, sedangkan bentuk syukur terhadap ilmu adalah dengan mengamalkannya. Maka barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan menambah ilmu kepadanya.

Ketika amal dipacu mengiringi ilmu, maka ilmu akan berkembang. Jika amal mengejar lagi, maka ilmu akan meningkat lagi. Begitulah seterusnya hingga kita posisi mendekati puncak dalam hal ilmu dan amal. Allahumma arina al-haq haqqan, war zuqnit tiba’ahu, wa arina al-baathil baathilan, war zuqnaj tinaabahu. Ya Allah, tunjukkanlah yang benar tampak benar, dan berilah kami kekuatan untuk menjalankannya. Dan tunjukkanlah kepada kami, yang bathil tampak bathil, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya. Amien. (Abu Umar Abdillah)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Al Mann, Racun Pemusnah Pahala Sedekah

Al Mann,  Racun Pemusnah Pahala Sedekah

Ramadhan kemarin, dan juga syawal, adalah moment untuk berderma. Keutamaan Ramadhan memancing iman untuk melakukan segala hal demi mendapatkan pahala yang berlimpah, termasuk dengan sedekah. Bulan Syawal meski fadhilahnya tak seisitimewa Ramadhan, juga sering dijadikan moment untuk berbagi. Tak jarang, bulan syawal dijadikan bulan tutup buku dan waktu mengeluaran zakat mal. Andai dibuat grafik, perolehan dana sosial pada titik Ramadhan-Syawal pasti jauh lebih tinggi dari bulan lainnya. Subhanallah, semoga apa yang telah didermakan, dicatat sebagai kebaikan,diberi pahala berlipat dan bermanfaat saat amal ditimbang di akhirat.Amin.

Nah, yang harus dilakukan sekarang adalah menjaga agar pahalaibadah maliyah itu tidak hilang. Hilang? Apa maksudnya? Bukankah bila sudah ikhlas hanya mencari ridha Allah, berarti sudah dicatat sebagai kebaikan dan pasti diberi pahala?
Benar sekali. Keikhlasan adalah jaminan bagi setiap amal kebaikan yang dilaksanakan sesuai sunah, untuk diganjar pahala.Dan sebaliknya, nihilnya ikhlas yang berarti wujudnya riya’ (hasrat mendapat pujian dan penghormatan)adalah pengganjal pena pencatat pahala. Namun, untuk sedekah, Allah telah memperingatkan bahwa pahala sedekah bisa berkurang atau bahkan hilang alias batal diberikan jika pemberi sedekah melakukan al mann. Apa itu al Mannu? Al mannu adalah menyakiti orang yang diberi sedekah dengan menngungkit-ungkit sedekah yang sudah ia terima.
Allah berfirman,
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2:262)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu denga menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir itu. (QS. 2:264)

Dengan al mannu, pahala sedekah seperti tanah di atas batu licin yang tersiram hujan deras, musnah tiada sisa. Hilangnya pahala pasti akan membuat kita kecewa. Namun rupanya, dampak al mannu tidak hanya itu. Rasulullah bersabda,
ثَلَاثَةٌلَايُكَلِّمُهُمْاللَّهُعَزَّوَجَلَّيَوْمَالْقِيَامَةِوَلَايَنْظُرُإِلَيْهِمْوَلَايُزَكِّيهِمْوَلَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌالْمَنَّانُبِمَاأَعْطَىوَالْمُسْبِلُإِزَارَهُوَالْمُنَفِّقُسِلْعَتَهُبِالْحَلِفِالْكَاذِبِ
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak diperhatikan dan tidak disucikan dan bagi mereka siksa yang pedih: si tukang ungkit atas segala yang diberikan, yang celananya menutupi matakaki dan yang menjual dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim).
Diacuhkan di akhirat,mengerikan sekali. Padahal saat itu, kepedulian atau belas kasih dari siapapun selain Allah tak akan berguna. ‘afaanallahu wa iyakum. Dan ini adalah penyakit yang rawan menimpa para mutashadiq, donatur sedekah, demikian Abu Hayan menjelaskan dalam al Bahrul Muhith II/318.
Imam al Ghazali dalam Ihya’ Ululmuddin (I/226) dengan gamblang menjelaskan bahwa implementasi al mannu adalah membicarakan apa yang sudah disedekahkan, memamerkan, menuntut rasa terima kasih, doa, penghormatan, rasa segan, mengharap agar hak-haknya dikedepankan, dan didahulukan dalam berbagai acara serta agar yang diberi menurutinya dalam berbagai hal.Sedang al Adzaadalah menghina si penerima sedekah secara eksplisit dengan berbagai cara.
Ancaman Laten.
Dengan demikian, al mann adalah bahaya laten yang mengancam pahala sedekah. Setelah mendapat pemberian, kebanyakan orang akan menaruh hormat dan merasa berhutang budi. Tapi itu tidak bisa selamanya. Namanya hidup, suatu saat akan ada gesekan atau bahkan pertikaian,sedikit atau banyak, termasuk antara orang yang pernah memberi dengan penerima. Apalagi yang namanya kebaikan lebih mudah dilupakan, sementara kesalahan, meski hanya sedikit, akan terpatri di ingatan. Nah, saat terjadi gesekan itulah, setan akan menghasung agar si pemberi mengeluarkan kartu trufnya, mengungkit apa yang pernah ia berikan, baik sedekah atau bantuan lain. Hal itu berfungsi untuk memberi tekanan dengan memposisikan lawannya sebagai pihak yang tidak tahu berterima kasih.
Kita harus waspada karena kondisi seperti itu dapat terjadi kapan saja. Barangkali kita merasa puas karena berada di atas angin. Tapi jika kepuasan itu harus ditukar dengan pahala yang sedianya akan kita dapatkan di akhirat, tentu pertukaran itu tidaklah seimbang.
Ternyata Ikhlas Juga harus dijaga
Ada tiga racun yang diramu setan untuk merusak amal kebaikan. Sebelum beramal, racun riya’lah yang digunakan. Racun riya’akan membuat orang kehilangan orientasi tentang kepada siapa seharusnya amal ia niatkan. Saat beramal, ada racun ghaflah yang disisipkan. Ghaflah adalah lalai yang bisa berupa hilangnya kekhusyu’an atau ketidakseriusan. Dan setelah amal dilakukan, masih ada racun perusak amal yang efeknya tak kalah ampuh dari dua yang pertama. Ada sum’ah dan al Mann. Sum’ah, menceritakan amal yang sudah dilakukan agar mendapat sanjungan. Dan untuk sedekah ada al Mann dan al Adza, mengungkit pemberian dan menyakiti hati yang diberi. Cukup dengan satu saja dari ketiga racun ini, pahala bisa musnah. Susah payah beramal dan beribadah, tapi pahala yang diharapkan telah musnah.
Untuk mengantisipasi racun al mann, ada baiknya kita merenungkan hadits Nabi berikut:
إِنَالصَّدَقَةَتَقَعُ فيِ يَدِاللهِعَزَّوَجَلَّقَبْلَأَنْتَقَعَفِييَدِالسَّائِلَ
“Sesungguhnya sedekah itu berada di tangan Allah sebelum sampai ke tangan orang yang meminta (menerima).” (HR. ath Thabrani, ref: Majma’ az Zawaid II/11).
Sedekah yang kita berikan hakikatnya telah kita berikan kepada Allah dan yang menerima mengambilnya dari Allah. Disamping itu, pada dasarnya rejeki itu akan sampai pada pemiliknya melalui siapapun. Pemilikinya adalah yang menggunakan dan memanfaatkannya. Jadi pada dasarnya si pemberi sedekah hanyalah perantara.
Orang yang mengungkit-ungkit sedekah seakan-akan merasa bahwa rejeki yang jatuh ke tangan si fulan itu bermula dari dia. Dialah yang memberikan dan menakdirkan harta itu sampai pada si penerima. Imam al Ghazali menyebutnya sebagai suatu ketidakmengertian(al jahlu) akan hakikat (Ihya’ I/226). Hakikat bahwasanya rejeki sudah ditetapkan, bahkan apa yang akan terjadi di seluruh dunia ini berjalan atas kehendak-Nya. Sedang Imam al Qurthubi menyebutnya sebagai bagian dari kesombongan dan ujub.
Jadi, sebenarnya tidak alasan untuk mengungkit-ungkit pemberian. Sebab, hakikatnya yang memberi adalah Allah. Tapi yang perlu dicatat, jika kita berada di posisi sebagai orang yang diberi, bukan persepsi ini yang kita kedepankan, tapi rasa terima kasih dan syukur. Wallahua’lam (T. anwar)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hina Dianggap Mulia


Hina Dianggap Mulia

Meniru adalah tabiat manusia. Sangat sulit bagi kita untuk tidak meniru. Toh, tak selalunya meniru itu buruk. Tergantung siapa yang ditiru, dalam hal apa dan bagaimana kita meniru. Ada nasihat orang arif di zaman dahulu, “Tasyabbahu, in lam takuunu mitslahum, fa innat tasyabbaha bil kiraam falaah,” Tirulah (orang mulia), kalaupun kamu tidak bisa persis mereka, sesungguhnya meniru orang yang mulia itu adalah keberuntungan.

Persoalannya adalah, terpampang di hadapan manusia banyak sekali pilihan yang memungkinkan untuk ditiru. Dari yang sekaliber dunia, hingga yang tingkatan lokal. Dari yang paling baik, hingga yang paling buruk, dan dari zaman Adam hingga zaman kita sekarang, dari yang berujud sosok perorangan maupun kaum atau golongan.

Pedoman umumnya sama, bahwa semua orang pasti memilih meniru tokoh atau kaum yang dianggapnya mulia, lebih mulia dari posisinya sekarang ini. Hanya saja, penilaian tentang siapa yang mulia dan siapa yang hina berbeda-beda, tergantung dari sisi mana mereka memandang.

Bila Diukur dengan Kaca Mata Dunia

Ketika era generasi sekarang terjangkiti penyakit akut bernama al-wahn , dengan indikasi hubbud dunya wa karahiyatul maut (gandrung dunia dan takut mati), maka kaca mata duniawi menjadi sudut pandang paling utama. Ukuran mulia adalah kemewahan dan kebebasan dalam mengekspresikan apa yang diinginkan. Kaum dengan tipe seperti inilah yang hari ini dianggap mulia, untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dan idola. Simpel kata, sekarang banyak yang menjatuhkan pilihannya kepada komunitas Barat untuk ditiru. Mereka merasa bisa ’nebeng’ mulia apabila bisa mengikuti jejak mereka, mirip dengan mereka atau bahkan sekedar ikut-ikutan dan ’mengcopy-paste’ tradisi mereka. Padahal, mereka adalah representasi dari kaum Yahudi dan Nasrani, atau bahkan orang kafir secara umum. Hal mana Nabi Shallalahu alaihi Wasallam sudah mengingatkan sejak lama dengan sabdanya,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ , حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, اَلْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى ؟ قَالَ فَمَنْ ؟

“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (semacam biawak), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami (sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan tentang hadits di atas, “Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.”

Karena gandrungnya terhadap Barat, apapun yang berasal dari Barat diadopsi sebagai pegangan dan tradisi. Meskipun berupa perilaku maksiat, maupun pola pikir yang bertentangan dengan syariat. Pergaulan bebas dengan lawan jenis, kebiasaan minum khamr, nyanyian-nyanyian yang mengobral kata-kata cabul, dandanan yang mengumbar aurat dan pola pikir liberal adalah sebagian produk Barat menu utama yang dikonsumsi umat. Apalagi, media yang entah memiliki kepentingan sama dengan Barat, atau karena alasan komersil menjadi sarana yang sangat efektif menyebar ’virus’ tasyabbuh (sikup meniru) terhadap budaya Barat.

Padahal Mereka Hina

Adalah naif, jika kaum muslimin terkesima dan terpesona oleh keglamouran Barat. Atau menganggap mereka mulia, sehingga dengan suka hati menjadi penerus budaya mereka. Tidak layak pula kaum muslimin minder, apalagi bersedih lantaran tidak bisa bebas seperti mereka. Karena kemuliaan kita terletak pada keimanan yang kita pegangi, dan kehinaan itu apabila kita tanggalkan ketaatan dan keimanan, lalu menggantinya dengan dosa dan kekafiran. Bagaimana mungkin kita menganggap orang kafir mulia, sementara Allah menganggap mereka makhluk paling hina,

”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS al-Bayyinah 6)

Bila ditanya mengapa mereka dianggap hina, akan banyak alasan yang kita temukan dalam ayat-ayat maupun kalam rasul-Nya. Kehinaan suatu kaum bisa ditilik dari rendahnya tujuan dan cita-cita. Orang-orang kafir itu hina, karena puncak obsesi mereka adalah dunia yang hina, yang paling mereka buru adalah kenikmatan yang fana, tak sebanding dengan kenikmatan akhirat, baik dari sisi kadar maupun masanya. Allah telah menyingkap ‘goal setting’ yang diimpikan mereka,

Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (QS. an-Najm 29-30).

Yakni, memburu kesenangan duniawi adalah obsesi terbesar mereka. Padahal, gambaran remehnya nilai dunia dibanding akhirat digambarkan Nabi saw seumpama tetesan air yang menempel di jari-jari, dibanding seluruh air di samudera, sungguh tak terukur jauhnya selisih antara keduanya. Karena murahnya dunia di sisi Allah, maka Allah memberikan kekayaan dunia kepada siapapun, tanpa membedakan yang mukmin dan yang kafir, yang dicinta maupun yang dibenci. Andai saja dunia itu berharga di sisi Allah, tentu Dia hanya akan menganugerahkan kepada orang-orang yang dicintainya saja. Rasulullah SAW bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia itu di sisi Allah senilai dengan sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir, meski hanya seteguk air.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan shahih)

Begitu remeh cita-cita orang yang tak beriman. Yang karenanya, sehebat apapun mereka, Allah menganggapnya sebagai kaum yang tidak berakal, tidak memahami dan tidak mengetahui?Bagaimana mereka jadikan dunia sebagai tujuan akhir hidupnya, sedangkan ujung dari kehidupannya adalah kematian? Boleh jadi ajal datang sebelum mereka sempat menikmati jerih payahnya, selain hanya sedikit saja. Pun, kenikmatan yang remeh temeh itu harus dibayar dengan penderitaan yang kekal di neraka. Maha Suci Allah yang berrfirman,

”Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran 196 – 197)

Mereka Juga Menderita

Mungkin umat yang meniru orang kafir hanya melihat yang enak-enak saja dari mereka. Seakan hidup tanpa beban, bersenang-senang dan menyalurkan keinginan sesuka hati. Padahal, realitanya tak seperti yang mereka duga. Tak ada satupun manusia hidup tanpa pernah menghadapi masalah. Selalu dan pasti ada dua warna dalam hidup, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan tertawa serta kemudahan dan kesulitan. Justru orang yang beriman memiliki nilai sangat lebih dibanding orang-orang kafir,

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisa’ 104)

Harapan inilah yang menjadi faktor peringan dari beban insan beriman. Harapan untuk mendapatkan ganti yang lebih baik di dunia, pahala yang lebih besar lagi di sisi Allah, dan juga harapan terhapusnya dosa dan kesalahan. Karena sekecil apapun musibah menimpa insan beriman, bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi saw bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

”Tiada seorang muslim pun yang ditimpa suatu gangguan, baik karena duri maupun yang lebih berat, kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari)

Berbeda dengan mereka. Tak ada alasan yang meringankan, tak ada pula kompensasi di akhirat atas musibah yang dideritanya. Derita dunia bagi mereka hanyalah ’pendahuluan’ dari siksa yang akan menimpa mereka di akhirat. Maka layakkah kita meniru kaum yang memiliki masa depan begitu suram seperti mereka? Alangkah indah motto Khalifah Umar bin Khathab, Innaa qaumun a’azzanallahu bil Islam, falan nabtaghil ’izzah bighairihi. Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka kami tidak mengharapkan lagi kemuliaan selain dengannya. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Ada "Zionis" di Balik Tuntutan Referendum Papua

Ketua Gerakan Merah Putih, H Ismail Yenu mengatakan permintaan referendum itu hanya sebagian kecil rakyat Papua

Selasa siang (2/11), sekelompak orang di Manokwari melakukan aksi unjuk rasa menuntut referendum untuk Papua Barat. Masa yang berkumpul sejak pukul 09.00 WIT itu berkonsentrasi di depan gedung Dewan Adat Papua, Jl. Pahlawan, Manokari.

Dalam pantauan hidayatullah.com di lokasi, masa yang berkumpul berjumlah sekitar 150 orang. Menurut petugas polisi yang berjaga, mereka rencananya akan segera melanjutkan aksi di gedung DPRD Kab Manokwari. Nampak salah satu peserta aksi, seorang bapak-bapak tua sambil membawa bendera Zionis Israel meneriakan referendum.

"Rakyat Papua minta bantuan internasional agar Papua mendapatkan perlakuan khusus dengan referendum," teriaknya.

Di antara mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan: “Papua zona darurat dan rakyat asli Papua sedang menuju kepunahan ras. Maka kami mendesak intervensi internasional untuk referendum bangsa Papua”, “Referendum is peace solution for West Papua”, “Tarik mundur TNI dan Polri dari tanah Papua dan PBB segera intervensi Papua Barat.”

Sementara itu, "Mereka tidak mengerti sejarah. Dan mereka yang minta referendum itu tidak tahu Islam. Islam sudahlah agama yang sempurna," ujar mantan pendeta yang juga mantan kepala suku Yapen Waropen.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Al-Muthlaq: Tidak Boleh Kampanye Politik Selama Haji

Al-Muthlaq juga berfatwa tidak diperbolehkannya berhaji bagi jamaah yang tidak mendapatkan surat izin atau rekomendasi haji

Syeikh Dr. Abdullah Al-Muthlaq, anggota Dewan Ulama Senior di Saudi Arabiya berfatwa tidak diperbolehkannya menggunakan slogan-slogan politik selama musim haji. Ia menjelaskan bahwa Tanah Suci tidak boleh menjadi tempat kampanye politik, karena hanya akan mengganggu ibadah haji. Demikian dilansir Al-Arabiya.net (2/11).

Al-Muthlaq mengatakan bahwa tidak diperboleh bagi seorang Muslim untuk mengganggu keamanan orang yang berhaji serta menjauhkan mereka dari ibadah. Pendapat ini ia keluarkan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar penggunaan slogan-slogan politik selama musim haji, dan apakah hal tersebut dapat mengganggu ibadah haji.

Tahun lalu, pihak pemerintah Saudi Arabiya juga telah memperingatkan agar tidak ada demonstrasi selama musim haji, setelah sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1987 yang dilakukan oleh jamaah haji dari Iran dan menewaskan lebih dari 400 orang. Akibat insiden tersebut, akhirnya hubungan antara Saudi dan Iran menjadi tegang, dan sampai pada tahun 1991 orang-orang Iran dilarang untuk berhaji.

Di samping itu, Al-Muthlaq juga berfatwa tidak diperbolehkannya berhaji bagi jamaah yang tidak mendapatkan surat izin atau rekomendasi haji. Keputusan ini juga dikeluarkan oleh para ulama-ulama senior. Dan seluruh negara-negara Islam sudah sepakat pada keputusan KTT Islam mengenai proporsi jumlah jamaah haji tiap masing-masing negara.

Al-Muthlaq menegaskan bahwa pengaturan mengenai masalah keberangkatan haji memiliki maslahat yang besar bagi umat Islam guna mencapai ketenangan dan kenyamanan selama menjalankan ibadah haji.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

AIPAC Gembira Politisi AS Pro-Israel Menang

AIPAC sebut para politisi itu meneruskan tradisi AS sebagai pendukung setia Israel

Kelompok pro-Israel bersuka-cita atas kesuksesan yang diraih oleh pendukung mereka, para politisi Partai Demokrat dan Republik dalam pemilu sela AS baru-baru ini. Dalam pemilu itu tiga orang Yahudi juga terpilih menjadi anggota Kongres yang baru.

Sebagaimana dilansir Haaretz (3/11), AIPAC, kelompok lobi Yahudi terbesar di AS, dalam sebuah pernyataannya mengatakan, "Banyak para pendukung dan teman terkuat dari hubungan AS-Israel kembali terpilih pada hari Selasa."

Pendukung Israel yang terpilih kembali diantaranya pemimpin mayoritas di Senat Harry Reid (Demokrat-Nevada) dan John Boehner (Republik-Ohio), yang kemungkinan besar akan menjadi pemimpin kelompok mayoritas di DPR setelah partainya merebut sebagian besar kursi dari tangan Demokrat.

AIPAC juga menyebut nama pendukung Israel lainnya yang terpilih kembali, seperti Nancy Pelosi, politisi pemimpin mayoritas di DPR dari Demokrat yang akan menyerahkan jabatannya itu ke rekannya dari Republik, Eric Cantor (Rep-Virginia) dan Steny Hoyer (Dem-Maryland).

"Sangat jelas sekali Kongres ke-112 ini akan meneruskan tradisi panjang Amerika yang gigih memberikan dukungan kuat, mengamankan dan memastikan ikatan persahabatan antara AS dan sekutu kami yang paling bisa diandalkan di Timur Tengah," kata AIPAC. Sekutu di Timur Tengah dimaksud tidak lain adalah Israel.

AIPAC juga menyambut hangat kemenangan 3 politisi baru Yahudi yang menjadi anggota Kongres, yaitu Richard Blumenthal (Dem-Connecticut), David Cicilline (Dem-Rhode Island) dan Nan Hayworth


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Beranikah Obama Dialog Dengan ABB?

Kunjungan Obama diakui dalam rangka membangun dialog. Beranikah, kira-kira berdialog langsung dengan Abubakar Baasyir?

Anggota fraksi PKS di DPR RI Kemal Aziz Stambul, menilai rencana kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pekan depan ke Indonesia dalam rangka memenuhi janjinya yang beberapa kali sempat tertunda. Ia juga menilai, kunjungan merupakan upaya pihak Amerika membangun hubungan yang lebih baik.

"Saya melihat ini untuk mempertegas bahwa sebetulnya tidak ada masalah," kata Stambul dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, Kamis (04/11).

Menurut Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) XI DPR RI ini, Indonesia potensial menjadi jembatan menuju dialog antar Islam dan Barat. Terutama jika melihat fenomena maraknya Islam Phobia di banyak negara Barat karena pemahaman dan informasi seputar Islam yang tidak utuh yang mereka terima.

Sementara itu, mantan Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Al Anshari mengatakan, rencana kedatangan Obama ke Indonesia dan menginjakkan kaki di di Istiqlal justru bentuk penghinaan.

"Obama datang ke Istiqlal itu penghinaan karena tentu akan ada banyak anjing Secret Service yang menyebabkan najis di lingkungan masjid," ujar Fauzan Al Anshari, dikutip JPNN, Selasa (2/11).

Jika Obama ingin berdialog, Obama harusnya mau berdialog langsung dengan Ustadz Abubakar Baasyir yang selama ini kerap dituding oleh Amerika sebagai teroris, tapi tidak pernah terbukti.

Menurut Fauzan, meskipun Obama datang ke Istiqlal, itu tidak berarti akan menghapus kesalahannya memerintahkan perang di Iraq dan Afghanistan yang menelan ribuan korban jiwa.

"Itu hanya citra. Kalau mau tebar pesona sebaiknya dialog saja dengan ustad Abu di Mabes Polri," tandasnya.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

AFKN Terapi Mental Korban Wasior

Para dai yang berasal dari beberapa daerah akan memberikan terapi mental pasca bencana kepada para korban banjir

Tepat pukul 4 sore hari, 10 orang dai yang tergabung dalam Yayasan Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) tiba di Wasior, Kab Teluk Wonda, Papua Barat. Rombongan dai yang dipimpin oleh Ustadz Fadzlan Garamatan itu berangkat dari Manokwari menuju Wasior selama 18 jam melalui jalur laut.

Para dai yang berasal dari beberapa daerah di Papua Barat, seperti Fakfak, Teluk Bintuni, Babo, dan Manokwari itu rencananya akan memberikan terapi mental pasca bencana kepada para korban banjir.

Idris Rimosan, salah satu dai yang berasal dari Teluk Bintuni mengatakan pasca banjir bandang ini masyarakat harus dikembalikan semangatnya untuk terus membangun negeri dengan cara menguatkan pemahaman agama.

"Mereka ini masih sangat kurang dalam pelaksanaan ibadah, untuk bisa mewujudkan itu harus intens melakukan silaturahim. Tidak cukup hanya dengan ceramah satu atau dua kali," ujar dai yang juga aktif di Pesantren Hidayatullah Teluk Bintuni ini.

Lain dari pada itu, Idris juga menjelaskan, dakwah di provinsi paling timur Indonesia ini terhalang kendala yang cukup berat. "Pasalnya mereka terpisah-pisah dalam perbedaan suku. Terkadang," jelasnya saat ditemui hidayatullah.com di Masjid Al-Falah Wasior, Kab Teluk Wondama, Papua Barat.

Selain memberikan terapi mental, AFKN juga membawa barang bantuan berupa: pakaian layak pakai, jilbab, baju muslimah, beras, minyak sayur, gula, mie instan, dan al-Qur'an. Bantuan sebanyak 50 ton itu akan dibagikan kepada masyarakat yang menjadi korban, baik masih berada di Wasior maupun yang mengungsi di Manokwari.

Selanjutnya, menurut Ketua Umum AFKN, Ustadz Fadzlan Garamatan, AFKN akan menyiapkan dai untuk berdakwah di tengah masyarakat Wasior.

Dalam pantauan hidayatullah.com di lokasi, masyarakat yang menjadi korban masih sangat membutuhkan bantuan bahan pangan dan pakaian. Sayangnya, menurut Sihombi, pengurus Masjid Al-Falah yang menjadi salah satu titik pengungsian masyarakat mengatakan, bantuan dari pemerintah tidak terdistribusi dengan merata.

Banjir bandang di Wasior terjadi pada hari Senin, 4 Oktober 2010. Hingga saat ini ratusan manusia masih belum diketemukan jasadnya. Sementara itu, menurut keterangan dari masyarakat, banyak terjadi pencurian rumah-rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger