Powered By Blogger

22 Apr 2010

Dubes RI Undang Presiden Swiss Saksikan Kehidupan Islam di Indonesia

Dubes Djoko Susilo mengusulkan agar Presiden Swiss bekunjungan ke Pesantren di Jawa Timur
Indonesia dan Swiss akan semakin pererat kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan, konsisten dalam penyelesaian negosiasi antara EFTA dan Indonesia, terus menjalin dialog antarkerukunan umat beragama, serta merintis kerjasama di bidang jurnalisme di antara kedua negara.

Semangat bersama Indonesia dan Swiss tersebut diutarakan oleh Duta Besar RI, Djoko Susilo maupun Presiden Konfederasi Swiss, Doris Leuthard dalam acara penyerahan Surat Kepercayaan Djoko Susilo sebagai Duta Besar RI untuk Konfederasi Swiss, Selasa (20/4) di Federal Palace, Bern.

Dalam diskusi informal usai penyerahan Surat Kepercayaan, Dubes RI Djoko Susilo menyampaikan salam hangat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Doris Leuthard dan Federal Chancellor Corina Casanova, yang diterima baik oleh kedua pemimpin Swiss tersebut.

Selain itu, Dubes RI juga mengutarakan beberapa pokok penting, di antaranya mengenai rencana kunjungan Presiden Leuthard ke Indonesia pada bulan Juli mendatang. Rencana kunjungan ini, dengan interval waktu yang tidak terlalu lama dengan kunjungan sebelumnya, merupakan isyarat keseriusan Swiss untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama antara kedua negara. Sebelumnya, Presiden Swiss Micheline Calmy-Rey telah melakukan kunjungan ke Indonesia pada Februari 2007.

Menanggapi rencana kunjungan Presiden Leuthard pertengahan tahun ini, Dubes Djoko Susilo mengusulkan untuk menjajaki kemungkinan kunjungan ke Pesantren di Jawa Timur, untuk melihat bagaimana kehidupan komunitas Islam moderat berkembang dan berkontribusi dalam upaya menjaga kerukunan hidup di Indonesia.

Selain itu, Dubes RI juga melontarkan ide sekiranya Presiden Leuthard dapat turut serta membawa komunitas jurnalis Swiss untuk tidak saja meliput kunjungan Presiden, namun juga dapat mengamati secara langsung kehidupan muslim moderat di Indonesia, yang disambut dengan antusias oleh Presiden Leuthard dan Chancellor Casanova.

Mengemukanya referendum pelarangan pembangunan menara di Swiss pada November 2009, merupakan salah satu alasan mengapa Swiss perlu melihat bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan secara rukun di tengah berbagai kemajemukan budaya, etnis, dan agama, demikian ucap Presiden Leuthard kepada Dubes RI.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, Dubes Djoko Susilo percaya bahwa pers yang bebas dan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur penting untuk membina kehidupan demokrasi di suatu negara. Dengan demikian, pers juga memiliki tanggung jawab yang besar untuk turut serta mendidik masyarakat luas melalui tulisan-tulisannya.

â€Å“Indonesia dan Swiss, sebagai dua negara yang demokratis, banyak memiliki kesamaan pandangan, khususnya dalam bidang HAM dan pluralisme,â€Å“ demikian ujar Presiden Leuthard.

Menyepakati hal tersebut, Dubes RI mengatakan bahwa di masa mendatang, Indonesia juga pasti akan banyak menimba ilmu dari Swiss sebagai negara demokrasi yang telah lebih dahulu mapan, khususnya di bidang HAM.

Sebelum mendapatkan penugasan sebagai Duta Besar, Djoko Susilo merupakan wartawan senior pada harian Jawa Pos dan pernah pula ditugaskan sebagai koresponden luar negeri untuk Jawa Pos, masing-masing di Washington D.C. dan London.

Djoko Susilo juga pernah berkarier sebagai anggota DPR-RI Komisi I yang membidangi pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri, dan informatika selama 2 periode, sejak 1999 hingga 2009.

Selain untuk Konfederasi Swiss, Duta Besar Djoko Susilo juga diakreditasikan untuk Keharyapatihan Liechtenstein. Menurut rencana, Duta Besar akan menyerahkan Surat Kepercayaannya kepada Pangeran Alois pada 12 Mei 2010 di Kastil Vaduz, Liechtenstein.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Muhammadiyah Malaysia Gencar Bendung “SePILIS”

Paham liberalisme, sekularisme, dan pluralisme (SePILIS), saat ini dinilai sudah masuk ke tubuh Muhammadiyah

Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiya (PCIM) Malaysia tengah serius membendung arus sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (SePILIS). Wujud keseriusan itu nampak pada acara yang digelar Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah Kuala Lumpur Sentral (PRIM-KLS) bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI-UM) Malaysia, dalam acara seminar bertemakan "Tantangan Kontemporer Bagi Ormas Islam" beberapa hari yang lalu (18/4), di Universitas Malaya belum lama ini.

Untuk menghangatkan diskusi yang digelar, panitia memberi kesempatan kepada dua pemateri yang memang sering bergelut dengan perbincangan wacana kekinian ini, yang pertama Arifin Ismail, MA. dan kedua Prof. Dr. Susiknan Azhari, MA.

Ustaz Arifin, panggilan akrabnya, menyoroti isu-isu pemikiran di Indonesia, khususnya isu-isu yang biasa dikembangkan oleh tokoh-tokoh aliran Islam liberalisme, sekularisme, dan pluralisme (SePILIS), yang saat ini sudah masuk ke dalam tubuh Muhammadiyah.

Bagi doktor pemikiran Islam ini, produk-produk pemikiran kaum SePILIS ini jelas-jelas merupakan produk-produk pemikiran Barat, yang tentunya banyak bertentangan dengan perkara-perkara yang sudah mapan dalam Islam.

Ustaz yang juga aktivis INSISTS ini banyak menyoroti tantangan pluralisme agama. Baginya, berdasarkan pengamatannya, umat Islam secara sadar atau tidak telah terjerumus kepada arus penyamaan agama-agama dengan berbagai cara.

Arifin menyinggung konsep "God's Spot" yang dikembangkan seorang motivator ESQ yang marak di Indonesia. Menurutnya, konsep "suara hati" ini berasal dari kehidupan spiritual Yahudi.

Ia merujuk Rabbi Yaacov J. Kravitz yang menyatakan "Sprituality refers to what is most essential to heart of human experience".

Bahayanya, menurutnya, apabila seseorang sudah kadung meyakini bahwa suara hatinya adalah suara Tuhan. Dikatakan oleh penganjurnya bahwa "yang terpenting adalah legitimasi suara hati Anda sendiri, sebagai sumber kebenaran sejati." Maka, menurutnya, ini berpotensi menyamakan semua keyakinan kata hati seseorang sebagai yang benar, tidak pandang agama apa pun yang dianut.

Untuk meyakinkan, ia menghubungkan sekali lagi konsep suara hati ini dengan konsep Kabbalah, konsep spiritual atau akidahnya Freemasonry.

Akhirnya, Arifin menyarankan agar ormas-ormas Islam berhati-hati dengan isu-isu semacam ini yang dinilainya sebagai ciri masuknya ide “Sepilis”.

Maka dari itu, ia meminta ormas-ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, perlu menyiapkan kader-kader pemimpin yang benar-benar dapat memahami Islam secara baik. Di samping itu, mesti mendorong kadernya untuk lebih aktif, kreatif, dan inovatif dalam dunia pemikiran yang positif, yang dapat membendung pengaruh-pengaruh pemikiran ala Barat yang sedang dijual di tengah-tengah pasar komunitas masyarakat Islam.

Sementara itu Prof. Dr. Susiknan Azhari, salah satu orang penting di Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang sedang mengemban tugas sebagai professor tamu di Universitas Malaya, menjelaskan bahwa di internal Muhammadiyah sendiri beberapa tahun terakhir dilanda badai "nafsu politik" sehingga isu “SePILIS” ini secara "tak disadari" telah menjangkit juga di sebagian anggotanya.

Namun demikian ia menegaskan, tantangan ormas Islam sebenarnya bukan hanya masalah spritualisme dan pluralisme, tetapi lebih kompleks dari itu, yakni meliputi juga masalah kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, rendahnya moralitas pemimpin negara, dan lain sebagainya.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

KH. Hasyim Asy’ari dan Liberalisasi Pemikiran

Kyai Hasyim Asy’ari dikenal pembela syariat Islam. Andai beliau masih hidup, pasti berada di garda depan menolak pemikiran Liberal

Oleh: Kholili Hasib*

SUSUNAN Pengurus PBNU telah diumumkan, namun apakah sudah steril dari orang-orang liberal? Tentunya, harapan itu besar bagi umat Islam Indonesia. Sudah saatnya arus liberalisasi agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU belakangan ini ditanggapi serius dan tegas. Sebab, pemikiran ‘nyeleneh’ mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari –pendiri NU – yang dikenal tegas dan tidak kompromi terhadap tradisi-tradisi batil.

Ironinya, ketokohan Kyai Hasyim tidak hanya sudah ditinggalkan, akan tetapi malah berusaha ditarik-tarik dengan mengatakan, Kyai Hasyim adalah tokoh inklusif.

“KH. Hasyim adalah tokoh moderat, menghargai keberagamaan, dan terbuka,” begitu ungkap seorang kader muda NU, dalam acara bedah bukunya berjudul “Hadratussyaikh; Moderasi Keumatan dan Kebangsaan” pada 13 Maret 2010 di Jombang.

Penulisnya yang juga aktivis Islam Liberal, tampaknya ingin menarik-narik bahwa pemikiran Kyai Hasyim sesuai dengan pemikiran progresif anak-anak muda NU saat ini.

Progresif dalam pemikirannya, adalah yang tak jauh dari pemikiran liberal dan inklusif. Tentu, ini sebuah kesimpulan yang cenderung gegabah. Kesimpulannya tersebut akan membawa dampak tidak sehat terhadap organisasi NU ke depan. Sebab, ketokohan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat jauh dari ide-ide inklusifisme (keterbukaan) mereka. Pada zamannya, harap dicatat, Kyai Hasyim adalah tokoh sangat concern membela syari’at Islam.

Dalam konteks dinamika pemikiran progresif anak-anak muda NU seperti sekarang, cukup menarik bila kita mengkomparasikan dengan pemikiran founding father Jam’iyah NU ini. Ada jarak yang cukup lebar ternyata antara ide-ide Kyai Hasyim dengan wacana-wacana yang dikembangkan kader-kader muda NU yang liberal itu.

Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari yang sangat disegani, membuat orang NU ingin diakui sebagai pengikut beliau. Akan tetapi, upaya pengakuan yang dilakukan anak-anak muda liberal NU tidak dilakukan dengan mengaca pada perjuangan dan ideologi Kyai Hasyim.

Sebaliknya, pemikiran Kyai Hasyim justru secara paksa disama-samakan dengan pemikiran iklusivisme mereka. Padahal Kyai Hasyim pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar.

Ketegasan Kyai Hasyim


Wajah pemikiran pendiri NU ini yang paling menonjol adalah dalam pendidikan Islam, sosial politik, dan akidah. Akan tetapi pemikiran terakhir beliau ini belum banyak dielaborasi. Padahal untuk bidang keyakinan yang prinsip, beliau dikenal mengartikulasikan basicfaithnya secara ketat, tegas, dan tidak kompromi.

Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi.

Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.

Dalam aspek keyakinan, Kyai Hasyim juga telah wanti-wanti warga Nadliyyin agar menjaga basic-faith dengan kokoh. Pada Muktamar ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting. Seakan sudah mengetahui akan ada invasi Barat di masa-masa mendatang, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk.”

Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat”, lontar Kyai Hasyim. Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik pada masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,” tegasnya.

Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat.

Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.

Dalam kitab yang sama, mbah Hasyim (demikian sering dipanggil) menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu - , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya.

Menurut Kyai Hasyim, term wihdatul wujud dan hulul dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Kalaupun term itu diamalkan oleh seorang tokoh sufi dan para wali, maka maksudnya bukan penyatuan Tuhan dan manusia (manunggaling kawula).

Seorang sufi yang mengatakan “Maa fi al-Jubbah Illa Allah”, maksudnya adalah bahwa sesuatu yang ada dalam jubbah atau benda-benda lainnya di alam ini tidak akan wujud, kecuali karena kekuasaan-Nya. Artinya, menurut Kyai Hasyim, jika istilah itu dimaknai manunggaling kawula, maka beliau secara tegas menghukumi kafir.

Karakter pemikiran yang diproduk Kyai Hasyim memang terkenal berbasis pada elemen-eleman fundamental. Dalam karya-karya kitabnya, ditemukan banyak pandangan beliau yang menjurus pada penguatan basis akidah. Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu misalnya, Kyai kelahiran Jombang ini menulis banyak riwayat tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman.

Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu.

NU Tapi Liberal

Sayangnya, model pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut tidak menjadi kaca yang baik. Bahkan ‘kaca’ pemikiran Kyai Hasyim berusaha diburamkan sedemikian rupa, terutama oleh anak-anak muda NU yang liberal.

Punggawa-punggawa Jaringan Islam Liberal (JIL) tak sedikit berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim, melainkan pluralisme, sekularisme, kesetaraan gender, dan civil society.

Beberapa intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama harus ditanggapi serius. Pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan. Tidak hanya bagi NU, tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum.

KH. Hasyim Muzadi ketika masih menjabat ketua PBNU telah merasa gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau telah menyadari bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU.

Sebab, liberalisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.

Kekhawatiran tersebut memang perlu menjadi bahan muhasabah di kalangan warga NU. Sebab, invasi anak-anak muda tersebut pelan-pelan akan menghujam ormas Islam terbesar tersebut. Kasus Ulil yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai ketua PBNU dalam muktamar kemarin adalah sebuah sinyal kuat, bagaimana tokoh liberal bisa masuk bursa calon ketua. Harusnya, ada ketegasan sikap dari elit-elit NU untuk mencegah.

Padahal, KH. Hasyim Asy’ari sangat menetang ide-ide pluralisme, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratusyekh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.

Memang mestinya, nadliyyin yang liberal tidak mendapat tempat di dalam NU. Sebab, perjuangan Kyai Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ketegasannya semoga tidak sekadar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.

Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah. Maka, andai Kyai Hasyim hidup saat ini, beliau pasti akan berada di garda depan menolak pemikiran Liberal.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Uang Masa Depan yang Memakmurkan

Uang masa depan haruslah bisa mendatangkan kemakmuran, yang menciptakan lapangan kerja. Inilah yang terjadi bila dikelola sesuai Islam

Oleh: Muhaimin Iqbal*
SEPULUH tahun yang lalu (2001) seorang peneliti di Center of Sustainable Resources - University of California at Berkeley Bernard Lietaer menulis buku dengan judul The Future of Money: Creating New Wealth, Work and a Wiser World. Dalam bukunya yang futuristik ini Bernard antara lain menulis tentang berbagai fenomena pencarian uang baru yang sudah mulai saat itu karena kekecewaan masyarakat tentang sistem uang yang ada dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Menurut Bernard, sistem keuangan dunia dewasa ini tidak ubahnya seperti Casino raksasa yang dioperasikan dengan penuh spekulatif, yakni 100 kali lebih besar dari transaksi total bursa saham di seluruh dunia per harinya. Hanya 2 % saja dari perputaran tersebut yang terkait dengan transaksi barang dan jasa; 98%-nya murni untuk spekulasi.

Bila buku yang ditulis sebagai hasil penelitian Bernard ini dikaitkan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa penguasa hanya boleh mencetak fulus sebesar kebutuhan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negeri, maka ya hanya 2 % itulah uang yang perlu ada di dunia sesungguhnya.

Apa dampak dari besarnya porsi uang yang digunakan untuk keperluan transaksi spekulatif tersebut dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk transaksi riil? Nilai uang menjadi sangat rentan terhadap ulah spekulan. Porsi terbesar uang tidak menggerakkan sektor riil, pemerintah-pemerintah dunia menjadi sibuk menjaga nilai uang ketimbang menggerakkan sector riil. Lapangan pekerjaan tidak mudah tersedia, kemakmuran sulit terwujud, dan dunia menjadi tidak bijaksana karena lebih banyak mengharapkan durian runtuh dari ‘hasil spekulasi’ ketimbang hasil dari kerjaan yang riil.

Namun, di setiap zaman, di setiap masyarakat selalu ada sekelompok kecil orang yang melihat sesuatu sampai melewati batas horizon (beyond the horizon). Mereka ini sudah mulai mencari solusi untuk memecahkan problem, yang bahkan sebagian terbesar masyarakatnya belum menyadari adanya problem tersebut.

Dalam hal problem besar yang terkait uang ini misalnya; Bernard berhasil mengidentifikasi setidaknya saat itu sudah ada 1.900–an komunitas di seluruh dunia, termasuk ratusan di antaranya di Amerika, yang sudah mulai mengeluarkan ‘uang’-nya sendiri dalam berbagai bentuknya.

Di antara ‘uang swasta’ tersebut yang paling luas dikenal di masyarakat antara lain adalah Frequent Flyers Miles yang dikeluarkan oleh industri penerbangan; Reward Points yang dikeluarkan oleh perbankan, dan kini juga industri telekomunikasi; Vouchers yang dikeluarkan oleh para retailers; credit balances yang dikeluarkan pengelola transaksi barter; dan yang paling merepresentasikan uang yang sesungguhnya adalah apa yang disebut backed currencies.

Backed currencies adalah currencies atau alat tukar yang nilainya dijamin atau didukung langsung dengan barang atau jasa. Di antara barang-barang ini yang paling baku nilainya dan memang sudah digunakan sebagai uang selama ribuan tahun adalah emas dan perak. Maka backed currencies berbasis emas yang sudah dikenal luas di dunia maya seperti e-gold, menjadi primadona dalam pencarian uang modern tersebut.

Meskipun emas adalah uang yang paling ideal; berbagai pihak yang berusaha menggunakan emas sebagai uang di masa lampau banyak mengalami kegagalan. Contoh terbesarnya adalah kegagalan Breton Woods Agreement yang buyar Agustus 1971 – hanya seperempat abad saja usianya. Mengapa demikian? Sederhana saja, penggunaan emas sebagai uang haruslah disertai serangkaian peraturan yang sangat lengkap dan menyeluruh untuk menjamin ketersediaan emas sebagai uang itu sendiri.

Peraturan dan petunjuk pelaksanaan penggunaan emas yang sangat menyeluruh ini, adanya hanyalah di Syariat Islam seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Emas Cukup Untuk Seluruh Umat Manusia , Tetapi…”.

Seperti judul buku Bernard tersebut diatas, uang masa depan haruslah uang yang bisa mendatangkan kemakmuran, uang yang berguna untuk menciptakan lapangan kerja, dan uang yang bisa membuat dunia lebih bijaksana. Sekali lagi inilah yang akan terjadi bila uang dikelola sesuai syariat Islam, hanya dengan syariat inilah uang tidak menjadi harta yang tertimbun. Uang benar-benar mendatangkan kemakmuran bukan hanya pada golongan yang kaya saja.

Jadi sesungguhnya blueprint uang masa depan yang memakmurkan it, telah lama ada di dunia Islam dan telah pula diterapkan selama ribuan tahun. Kini blueprint ini pun siap diterapkan di era teknologi ini. Tinggal kita sendiri mau mengikuti orang lain yang dengan susah payah mencari bentuk uang modernnya ; atau kita kembali menggunakan uang yang sudah ada di syariat Islam – rujukan yang kita yakini kebenarannya. Waallahu A’lam


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

12 Apr 2010

Israel Tempati Urutan Keenam Negara Pemilik Senjata Nuklir 
Monday, 12 April 2010 15:37 

Israel sejak tahun 1957, bersamaan pembangunan instalasi nuklir Dimona di selatan wilayah pendudukan, telah memulai produksi hulu ledak nuklir
Hidayatullah.com--Media Barat menyebutkan penimbunan ratusan hulu ledak nuklir di wilayah pendudukan Pelestina oleh Zionis Israel.

Press TV mengutip mingguan Inggris, Jane's Defense melaporkan, dengan memiliki lebih dari 300 hulu ledak nuklir,Israel menempati urutan keenam negara pemilik senjata pembunuh massal di dunia.

Menurut sumber ini, Israel sejak tahun 1957 dan bersamaan dengan pembangunan instalasi nuklir Dimona di selatan wilayah pendudukan telah memulai produksi hulu ledak nuklir. Hal ini menjadikan rezim ilegal ini sebagai satu-satunya pemilik senjata nuklir di kawasan.

Sumber ini menambahkan, program nuklir Israel sangat rahasia dan mendapat dukungan dari Barat. Penolakan Israel untuk menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) membuktikan bahwa Tel Aviv tetap berupaya melanjutkan produksi senjata nuklirnya.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Memaknai Kegemilangan Islam dalam Membangkitkan Kejayaan Islam 
Monday, 12 April 2010 16:24 

Umat Islam harus mewujudkan “knowledge culture” dengan ciri-ciri "gigih", "tulus" dan "jujur"

SEJARAH adalah masa lalu manusia. Ia ibarat sesuatu yang tak bergerak, diam, dan membisu. Meski diam, manusia secara naluriah selalu ingin menghasilkan perbaikan-perbaikan dari sejarahnya itu. Dari sanalah muncul peradaban manusia, baik yang terbilang sukses maupun gagal. Islam adalah salah satu yang menghasilkan sejarah terpenting di dunia. Ia telah menorehkan tinta emasnya dalam sejarah dan keilmuan.

Kejayaan Islam di masa lalu bukanlah ilusi, sebab ia termaktub dalam turath dan khazanah-khazanahnya. Walaupun tidak semua umat Islam boleh menikmati khazanah itu ke hadapan mereka karena sebagian besar khazanah itu dahulu pernah diborong oleh penjajah dan sekarang memenuhi perpustakaan-perpustakaan raksasa di Barat yang sifatnya tidak semua orang boleh menyentuhnya.

Umat Islam sejak dua abad terakhir sudah mulai merangkak melihat kembali sejarahnya itu, memperhatikan keunikan-keunikannya, berupaya menyambungkan kembali identitas dirinya dengan sejarah panjangnya melalui kajian-kajian apa adanya. Penelitian-penelitian, seminar-seminar, workshop-workshop secara intensif tentang keislaman tidak bisa dibendung lagi untuk dilakukan, sebab ini adalah hasrat yang kuat dari hati mereka yang mendambakan kejayaan itu wujud lagi di masa depannya. Bagaimana membangkitkan kembali kejayaan Islam?

Pertanyaan ini telah dijawab pada Colloquium Keemasan Islam pada tgl 3 April lalu di Universitas Malaya, Malaysia. Seminar yang bertajuk "Menatap Keemasan Islam dalam Lintasan Sejarah dan Keilmuan dan Relevansinya di Masa Kini" ini adalah hasil kerja sama FUSI PPI UM dengan Institute for the study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Forum Lingkar Pena (FLP) Malaysia.

Acara ini menghadirkan dua panelis sekaligus dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang sejarah hadir seorang pakar sejarah Islam, Alwi Alatas. Sementara dari sudut pandang keilmuan adalah Dr Syamsuddin Arif, peneliti senior INSISTS, yang kerap dijuluki Ibn Sina muda.

Alwi, Ketua FLP Malaysia, menyatakan, bahwa di masa kegemilangan Islam, peradaban-peradaban lain tengah berada dalam kemundurannya. Ia menceritakan betapa jomplang-nya kemajuan di dunia Islam bila dibandingkan dengan kondisi di Barat saat itu.

Sebagai contoh, di masa-masa perang Salib, pernah dokter Kristen yang berasal dari Suriah dikirim ke Eropa untuk membantu mengobati penyakit yang kerap menimpa masyarakatnya. Namun, sang dokter ini hanya bertahan 10 hari di sana, sebab ia telah puas dengan segepok fakta bahwa memang di Barat pengobatan betul-betul terbelakang.

Alwi, yang juga penulis masalah sejarah ini juga menjabarkan bahwa dalam peradaban dunia, manusia cenderung tertipu dengan fisik. Fakta bahwa ketika peradaban sudah besar banyak yang memuja fisik. Mereka bangun patung-patung besar, menara-menara tinggi, patung-patung telanjang, altar-altar tinggi. Tidak hanya itu, mereka terpana dengan kenikmatan dan kelezatan yang dihidangkan peradaban fisik itu. Jangan heran apabila kehancuran peradaban sepanjang sejarah manusia selalu diakibatkan oleh keterlenaan mereka kepada kenikmatan dunia yang menipu mata itu.

"Mereka sering lupa, peradaban hanya perpanjangan tangan manusia dan masyarakat yang dibangunnya, sesuatu yang dibangun untuk memudahkan dan melayani kehidupan manusia," katanya.

Mengutip statemennya Malik Bennabi, Alwi menyatakan bahwa hubungan antara manusia dan peradaban bersifat “resiprokal”. Manusia adalah pembangun peradaban, tapi ia juga merupakan produk peradaban. Namun demikian, manusia tetaplah unsur terpenting dari suatu peradaban, bukan yang lainnya. Dan yang terpenting dari manusia itu adalah jiwanya. Ia kemudian mengaitkan dengan beberapa hujatan al-Quran terhadap mereka yang memuja peradaban fisik dan kemudian mereka dimusnahkan oleh Allah, seperti kaum Aad, Luth, dan lainnya.

Oleh karena itu, untuk membangkitkan semula peradaban Islam adalah dengan membangun manusianya, bukan sekedar fisiknya. Jika manusianya kokoh, maka peradabannya pun akan kokoh, bukan sebaliknya. Untuk membangun manusia yang kokoh, maka bangunlah dari jiwa-jiwanya. Apabila jiwa-jiwanya sudah kokoh, maka fisiknya pun ikut tangguh, dan bukan sebaliknya. Begitulah ajaran Islam bagaimana membangun peradaban.

Dari sudut pandang keilmuan, Dr Syamsuddin Arif, peneliti senior INSISTS mencoba menawarkan konsep learning society untuk membangkitkan kejayaan Islam kembali.

Dengan mengutip statemen Bertrand Russell (b.1872–d.1970), yang pernah menyatakan, "Many people would sonner die thank think.” Pria yang sering dipanggil bang Syam ini menekankan agar jangan menjadi kebanyakan orang yang tak mau mikir.

“Lihat sekarang, para mahasiswa yang hanya bawa kuping aja ke kelas, ke seminar, bawa rekaman, lalu nanti kalau ujian dikeluarkan. Tidak lebih dari pada itu,” ujarnya.

Syamsuddin memperingatkan, dalam konteks sejarah Islam, agar kaum Muslim jangan menjadi atau ikut-ikutan kebanyakan orang. Umat Islam harus beda, harus mengerti masa lalu, dan menguasai masa sekarang serta memprediksi masa depan.

"Those who know the past can predict the future and control the present," ujarnya.

Karena itulah, kata Syamsuddin, dulu Soekarno pernah bilang, "JASMERAH!". Maksudnya, jangan sampai melupakan sejarah.

Syamsuddin menceritakan pengalamannya ketika ia diundang oleh salah satu rekannya jalan-jalan ke Amerika. Di sana mantan santri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ini diajak jalan-jalan ke Universitas Columbia. Ketika masuk universitas raksasa ini, ia langsung berhadapan dengan perpustakan utama, yang bentuknya seperti altar Yunani kuno. Nama perpustakaannya Butler Library Columbia. Yang mencengangkan baginya, di sana tertulis delapan nama yang sangat populer dalam khazanah Yunani, yaitu; Homer, Herodotus, Sophocles, Plato, Aristotles, Demosthenes, Cicero dan Vergil. Nama itu dipampang begitu sombongnya di bangunan perpustakaan itu. Padahal, menurutnya, nama-nama itu bukanlah orang Amerika, bukan juga Prancis, ataupun Inggris. Mereka itu nama-nama Yunani kuno. Pertanyaannya mengapa bukan George Washington, Michael Jackson, atau yang lain? Jawabannya adalah mereka ingin menghubungkan tradisi kesarjanaan mereka kepada tradisi Yunani, walaupun tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka.

Menurutnya, yang bisa diambil pelajaran dari hal ini adalah umat Islam tidak boleh terputus dari sejarahnya. Ada banyak pelajaran yang umat Islam sendiri saat ini tidak mempedulikannya. Lebih bangga dengan sejarah orang lain dan melupakan sejarah atau identitas dirinya sebagai orang Islam.

“Ketika membaca sejarah, maka perlu diingat, bahwa kita tidak sekadar untuk mengenang sejarah, tapi untuk berbuat sekaligus,” ujarnya.

Dalam hal ini, menurutnya, ada dua hal yang perlu ditekankan; pertama, why should we do it? What for? Dan kedua, how should we do it? Tapi apa yang sering kita dengar dari banyak kalangan selama ini justru menepis pentingnya sejarah itu.

Kebangkitan Ilmu

Syamsuddin menjelaskan, untuk membangun kembali pembangunan peradaban Islam yang gemilang itu, tidak ada cara lain kecuali dengan ilmu.

"Bermula kejayaan dan kejatuhan bangsa itu lantaran ilmu, naik harkat dan martabat nya pun berkat iman dan ilmu. Runtuh dan terpuruknya suatu bangsa, lemah dan hina karena tiada ilmu. Sejarah adalah saksi bagi kebenaran sunnatullah ini, “ ujarnya. “Ilmu harus dicari, harus ditekuni, harus dihayati. Ilmu sejati pusaka para Nabi. Itulah yang paling tinggi. Ilmu-ilmu lain fardu kifayah, walaupun tetap berarti," tambahnya.

Baginya, syarat untuk maju adalah tidak boleh tidak harus dengan ilmu. Umat Islam harus menciptakan masyarakatkan ilmu dan harus menjadi bagian dari learning soceity. Istilah Prof Wan Nor Wan Daud, mantan Deputi ISTAC, “knowledge culture”.

“Kita harus punya nafsu belajar yang tinggi, bukan hanya nafsu kawin, makan, dan minum,” katanya.

Namun demikian, menurut Syamsuddin, bukan hal yang mudah mewujudkan “knowledge culture” ini. Oleh karena itu, melihat sejarahnya, umat Islam mempunyai ciri-ciri bagaimana mereka bersungguh-sungguh menghadirkannya. Diantaranya; selalu "gigih", "tulus" dan "jujur". Gigih maksudnya semangat mereka dalam mencari ilmu tak pernah padam. Mereka menghadapi pelbagai bahaya dan rintangan dan mau bersusah-payah menanggung derita demi ilmu. Semangat gigih itulah yang telah mendorong mereka pergi mengembara ke negeri-negeri yang jauh dan asing untuk belajar.

Syamsuddin mengemukakan beberapa profil ulama dahulu. Di antaranya kegigihan Katsir ibn Qays, yang datang jauh-jauh dari Madinah ke Damaskus semata-mata untuk menemui Abu Darda’ r.a. dan mencatat hadis secara langsung dari beliau. Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) yang ditinggal mati ayahnya sejak usia tiga tahun, namun siang dan malam waktunya dihabiskan untuk membaca dan menulis. Dari jari-jari tangannya ia telah menulis sebanyak 2000 buku. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa digali. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Malaysia "Disusupi" Agen Israel? 
Tuesday, 13 April 2010 06:31 

Kampanye Malaysia yang mengedepankan persatuan ras dinilai mirip dengan One Israel milik PM Israel 
 
Jika di Indonesia pihak kepolisian sibuk masalah makelas kasus (markus) di Malaysia lain lagi. Beberapa hari ini, tetangga Indonesia ini disibukkan dengan isu agen mata-mata Israel.
Beberapa hari ini, tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, mendesak penyidikan independen terhadap markas kepolisian. 
 
Oposisi mengklaim Israel telah berhasil menyusupkan mata-mata di institusi kepolisian atau Polis Diraja Diraja Malaysia (PDRM). Meski demikian, pemerintah Malaysia maupun aparat kepolisian menyangkal tuduhan Anwar Ibrahim itu.
 
Anwar mengklaim dia mendapatkan dokumen-dokumen kepolisian yang menunjukkan adanya dua mantan intel Israel di Malaysia sejak 2008. Kedua agen itu memiliki akses ke dalam sistem komunikasi aparat sambil menyamar sebagai pekerja komputer. 
 
Anwar tidak mengatakan apa tujuan agen Israel itu. Dia juga menuduh kampanye Malaysia yang mengedepankan persatuan antar ras mirip sekali dengan One Israel milik PM Israel Ehud Barak pada 1999. Indikasi itu, menurut Anwar, menunjukkan bahwa Israel berupaya melibatkan diri dalam pemerintahan Malaysia.
 
Selain itu, menuru Anwar, ada keterlibatan beberapa perusahaan Malaysia yang bekerjasama dengan negara Zionis tersebut.
 
"Asiasoft PLC didaftar di Singapura, dikuasai oleh Asiasoft Global PLC (dan) berpangkalan di Israel," ujar Anwar.
 
Namun Menteri Dalam Negeri Hishammuddin Hussein hari Jumat (9/4) menolak klaim Anwar. Menurutnya, tuduhan Anwar tidak berdasar dan ia pun memerintahkan tim penyidik untuk membuktikan sebaliknya.
 
Pernyataan Anwar dianggap pemerintah hanyalah cara untuk menciptakan keraguan masyarakat atas kredibilitas pemerintah berkuasa. Selama ini, Malaysia adalah salah satu pendukung Palestina dan tidak memiliki hubungan diplomatik apa pun dengan Israel. Kelompok berkuasa balik mengklaim 
 
Anwar tengah mencari dukungan dari mayoritas etnis muslim Malaysia dalam pemilu legislatif akhir bulan ini. 
 
Meski demikian, kasus ini menjadi perhatian masyarakat umum di negeri yang bersebelahan dengan Indonesia itu. 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

"Alhamdulillah, Suamiku Mati Syahid..." 
Tuesday, 13 April 2010 07:51 


Sebuah kisah yang ditulis dari penuturan istri seorang Mujahid Palestina yang dibunuh musuh dengan meledakkan mobilnya, hampir enam tahun yang silam

Kisah hidup dan kematian seorang syahid selalu ajaib. Mungkin karena orang-orang yang merindukan mati syahid selalu hidup dengan cara yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan. 

Bahkan, cara Allah memperlakukan musuh-musuhnya pun sering tak kalah ajaibnya. Suatu kali Perdana Menteri Israel waktu itu, Yitzhak Rabin, mengumumkan kepada dunia nama-nama pemimpin Hamas, termasuk nama ‘Izzuddin Khalil (yang disebutnya sebagai “kepala ular”), sebagai orang-orang yang paling dicari oleh Israel. Namun, Allah mentaqdirkan, Rabin yang mengumumkan hukuman mati bagi ‘Izzuddin justru lebih dulu dicabut nyawanya oleh Allah lewat tangan rakyatnya sendiri. Rabin mati 4 Nopember 1995, diberondong senapan mesin yang ditembakkan Yigal Amir, seorang pemuda Yahudi radikal, yang marah karena Rabin “berdamai” dengan Yaser Arafat.

Asy-Syahid ‘Izzuddin Khalil adalah salah satu komandan Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas (Harakah Muqawwamah Al-Islamiyah) yang bermukim di Damaskus, ibukota Republik Arab Suriah. Hamas merupakan organisasi terbesar yang menghimpun berbagai kekuatan rakyat Palestina yang berjuang demi kemerdekaan tanah waqaf milik umat Islam sedunia itu, serta pembebasan Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam dan terminal Rasulullah Saw ketika melakukan isra' dan mi'raj.

Kisah ini merupakan hasil wawancara dengan Feryal Ahmed Nemr Zienou, 35 tahun, istri Asy-Syahid ‘Izzuddin Khalil yang ditemui Hidayatullah.com di Damaskus.

‘Izzuddin merupakan salah satu pengawal pertama Syeikh Ahmad Yasin dan ikut serta dalam peletakan pondasi Hamas tahun 1986-87. Pria ini lahir dan tumbuh besar dalam pangkuan gerakan da’wah di kawasan Syija’iyyah, di sebelah timur kota Gaza.

Keterlibatannya dengan Hamas dan sayap militernya Al-Qassam begitu rapat terjaga kerahasiaannya, sampai-sampai baru sesudah seminggu mereka menikah, Feryal mengetahui kalau suaminya seorang komandan Al-Qassam.

Nama lengkapnya ‘Izzuddin Syubhi Al-Syeikh Khalil, lahir di Gaza, 23 Agustus 1962, menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat master di bidang Ushuluddin di Universitas Islam Gaza. Pekerjaan sehari-harinya ketika menikah dengan Feryal berdagang buku. Menurut Feryal, sama sekali tidak terlihat penampilannya sebagai seorang sosok militer.

Barangkali karena pengalamannya di usia belia pernah berjihad di Afghanistan, ‘Izzuddin ditugaskan oleh para pemimpin Hamas untuk mengumpulkan, membina dan melatih para pemuda Muslim di seluruh Palestina, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun seluruh kawasan Palestina yang sepenuhnya dijajah Israel. Tujuannya untuk menjadikan para pemuda itu Mujahidin pembela tanah suci para Nabi dan Masjidil Aqsha.

Rahasia Pengantin

Feryal sendiri waktu itu seorang gadis yang sedang mekar dari sebuah keluarga yang taat menjalankan syariat Islam. Salah satu kembang yang tumbuh di hatinya adalah keinginan untuk kelak menikah dengan seorang Mujahid fii Sabilillah.

Namun ketika menerima lamaran ‘Izzuddin, Feryal mengaku sama sekali tidak tahu kehidupan Jihad laki-laki yang melamarnya itu. Kenapa dia menerima lamaran padahal belum jelas ‘Izzuddin seorang Mujahid atau bukan? Perempuan yang murah senyum itu menjawab, di Gaza, waktu itu, kalau ada laki-laki yang rajin ke masjid, berakhlak baik, berilmu agama mendalam, berpenampilan rapi dan menjaga pergaulannya sesuai syariat Islam, hampir bisa dipastikan bahwa dia seorang Mujahid.

“Tapi saya sama sekali tidak mengira kalau dia seorang komandan dan sangat dekat dengan Panglima Para Mujahidin Palestina, Syeikh Ahmad Yasin,” tukasnya sambil tersenyum lebar.

Feryal mulai mencium sesuatu yang mengherankan sejak hari pertama pernikahan. Setiap kali pergi shalat subuh berjama’ah di masjid, ‘Izzuddin selalu pulang terlambat, yaitu ketika matahari sudah sepenggal naik, sekitar waktu dhuha. Feryal tak tahan untuk bertanya. Maka dijelaskanlah oleh ‘Izzuddin, bahwa sesudah shalat shubuh ia bertugas keliling membina para pemuda di berbagai tempat, baik pembinaan ruhiyah, keilmuan, maupun kemiliteran.

Betapa gembiranya Feryal mendengar penjelasan itu. Pengantin baru yang usianya lebih muda 13 tahun dari suaminya itu merasa Allah mengabulkan doanya selama ini, agar dinikahkan dengan seorang Mujahid. Namun rahasia itu tetap terjaga rapat diantara mereka berdua. Baru setahun kemudian, keluarga Feryal pelan-pelan mengetahui kenyataan bahwa ‘Izzuddin seorang Mujahid dengan amanah yang penting.
Terbukanya rahasia itu adalah ketika pada tahun 1992, ‘Izzuddin ikut ditangkap dan dibuang selama setahun oleh Zionis Israel ke Marj Az-Zuhur, sebuah perbukitan tak bertuan di perbatasan Lebanon dan Palestina, bersama 413 orang pemimpin Jihad lainnya seperti Dr. Abdul Aziz Ar-Rantisi. Selama setahun mereka tinggal di tenda-tenda darurat di lereng-lereng bukit. Musim dingin berselimutkan salju belasan derajat di bawah nol, musim panas dipanggang matahari.

Sejak Feryal mengetahui kedudukan suaminya sebagai komandan Jihad, setiap hari, usai shalat fardhu sampai syahidnya ‘Izzuddin 13 tahun kemudian, atas permintaan suaminya itu, Feryal mendoakan agar suaminya dianugerahi Allah mati syahid di Jalan Allah.

Bagi Feryal, ‘Izzuddin adalah seorang suami, sahabat, sekaligus ayah bagi anak-anaknya yang selalu jujur dan ikhlas. “Berat,” demikian kata Feryal, ketika ditanya bagaimana perasaannya setiap kali berdoa agar suaminya mati syahid, “tapi di saat yang sama saya yakin Allah akan mengganti cinta yang saya persembahkan kepada-Nya ini dengan sesuatu yang lebih hebat.” Janji-janji Allah untuk kemuliaan syahid seakan-akan nampak nyata di depan matanya saat berdoa. 

Tentu ada yang bertanya, kenapa tidak berdoa agar dimatikan syahid bersama-sama? Jawaban Feryal jelas dan mantap, “Karena, jika suami saya syahid, lalu saya tetap istiqamah menjalankan amanah-amanah yang tertinggal, termasuk membesarkan anak-anak, maka Allah menjanjikan kemuliaan yang lebih besar lagi bagi kami sekeluarga.”

Dua Isyarat

Sesudah ‘Izzuddin syahid, hidup terasa lebih berat bagi Feryal karena seluruh keluarga dari pihaknya dan pihak suaminya ada di Gaza, sedangkan dirinya di Damaskus yang terpisah oleh jarak ratusan kilometer dan blokade militer.

Namun ada dua kenangan manis sebelum ‘Izzuddin mati syahid, yang selalu membuatnya bangkit lagi semangatnya. 
Yang pertama, kira-kira satu bulan sebelum syahidnya ‘Izzuddin, mereka bekunjung ke rumah seorang sahabat dalam sebuah acara silaturrahim. Sebagaimana seharusnya, Feryal bercengkerama dengan teman-temannya sesama Muslimah di sebuah ruangan, dan ‘Izzuddin dengan teman-teman Muslimnya di ruangan lain. 

Dalam suatu kesempatan, Feryal berjalan melewati pintu ruangan laki-laki dan sekelebat menyaksikan pemandangan yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Dia melihat di kening suaminya tertulis kata-kata dalam khat Arab, “Asy-Syahid” (Sang Syahid).

Tatkala penglihatannya itu ia sampaikan kepada ‘Izzuddin dalam perjalanan pulang, serta-merta suaminya meminggirkan mobil yang sedang dikemudikannya, lalu turun dan berdiri di samping mobilnya, menengadahkan tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, taqdirkanlah penglihatan istriku itu atas diriku.”

Sudah sewajarnya, Feryal bertanya kepada ‘Izzuddin, “Kalau kamu syahid, kami bagaimana?” Dijawab oleh ‘Izzuddin, “Ada Allah, dan Allah lebih baik dari saya.”

Peristiwa kedua yang tak akan pernah dilupakannya, terjadi hanya beberapa menit sebelum syahidnya sang Kekasih. Hari itu Ahad, 26 September 2004. Jarum jam menunjukkan angka sebelas dan matahari di penghujung musim panas masih menyiram hangat kawasan Mydan di jantung kota Damaskus. 

Feryal tengah sibuk menyiapkan sarapan bagi suaminya yang akan berangkat kerja. Tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk. Seorang perempuan, tetangga, mampir membicarakan hal-hal remeh, tapi di ujung pembicaraan yang hanya sebentar itu, si Tetangga bertanya, “Saudariku, kamu habis menyemprotkan parfum apa sih? Dari tadi kami mencium baunya wangi sekali, tercium sampai ke rumah kami...”

Feryal memang selalu mengusapkan wewangian sebelum suaminya berangkat dari rumah, tetapi pagi itu dia ingat betul belum melakukannya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa wewangian itu adalah sambutan bagi syahidnya sang Suami beberapa menit kemudian.

Sesudah tetangga itu berlalu, Feryal kembali menyiapkan meja makan. Sarapan khas negeri Syam, khubz (roti lebar), minyak zaitun, za’thar (serbuk rempah-rempah dan biji wijen), humus (selai kacang berbumbu), keju dan secangkir teh kental manis. Suaminya hampir tidak menyentuh makanan, lalu berkata bahwa dia sedang terburu-buru sambil minta tolong diambilkan paspor, untuk mengurus perjalanan umrahnya.
Suaminya pergi. Pintu rumah ditutup. Kurang lebih dua menit berlalu, ketika tiba-tiba Feryal mendengar suara ledakan keras. Dinding apartemennya bergetar. Dinding ruang kelas sekolah kedua anaknya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya juga bergetar. Anak-anak mereka, Hiba, waktu itu berusia 10 tahun, dan Muhammad, waktu itu berusia 7 tahun, keduanya mengaku mendengar ledakan itu dari sekolahnya. Hadil baru berusia 2,5 tahun bersama ibunya di rumah.

Di dada Feryal langsung berdesir, “Pasti itu ‘Izzuddin...” Ia berlari ke jendela apartemen yang terletak di lantai empat, sejurus disingkapnya tirai, disaksikannya jip Pajero berwarna silver tahun 1995 milik suaminya sudah hancur dan masih mengobarkan api. 

Tidak Menangis

Ibu tiga anak berusia 29 tahun itu tidak menangis. Ia segera mengenakan hijabnya dan berpakaian serapi mungkin menutup aurat, sebelum kemudian meluncur turun ke tempat kejadian. Setelah memastikan bahwa suaminya telah syahid, Feryal naik lagi ke atas, menelepon istri seorang pemimpin Hamas, Dr Musa Abu Marzuq, Wakil Kepala Biro Politik. Setelah memberi kabar tentang apa yang terjadi atas suaminya dan menjelaskan lokasi rumah mereka, Feryal mematikan telepon.

Kemudian ia berwudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at. Ia memanjatkan doa agar syahid suaminya diterima oleh Allah dan bersyukur Allah telah memilih suaminya sebagai salah satu lelaki terbaik.

Ketika ditanya, apa yang dirasakannya saat itu, Feryal menjawab dengan tersenyum, “Hati saya seperti diiris-iris, sakit, tetapi pada saat yang sama saya merasa sangat berbahagia karena doa saya setiap hari dikabulkan oleh Allah.”

Seorang saksi mata belakangan mengatakan, ‘Izzuddin sempat memundurkan mobil itu sebelum meledak. Para penyeledik Hamas mengatakan, diduga kuat mobil itu diledakkan dengan bom yang menggunakan remote control.

Seselesainya dari shalat, Feryal menyiapkan diri dan rumahnya untuk kedatangan para tamu yang sebentar lagi pasti akan ramai. Banyak diantara yang kemudian datang menangis. Bahkan salah seorang teman perempuannya menangis sampai jatuh-jatuh. “Saya bilang kepada mereka, jangan menangis, saya tidak menangis karena ini keberuntungan saya dan keluarga saya,” katanya.

Ketika menerima salam dari ratusan tamu itu, Feryal membayangkan malam-malam yang selalu dilewatinya bersama ‘Izzuddin, sepanjang 13 tahun pernikahannya. Sebelum tidur, keduanya selalu saling pandang dan saling bertanya, “Apakah kamu ridha kepada saya?” Keduanya sama-sama saling mengiyakan.

Keridhaan itu kini membias pada ketiga anaknya. Hidayatullah.com menemui keluarga ini di rumah mereka dan meminta mereka bercerita satu per satu tentang kenangan mereka akan ayahnya. Tidak ada air mata. Tidak ada sesenggukan. Tidak ada wajah muram. Yang ada senyum bangga dan wajah yang berbinar penuh keberanian. 

“Terkadang,” kata Feryal, “anak-anaknya mengatakan, ‘seandainya ayah bersama kita...’ terutama saat berbuka puasa Ramadhan... Tapi saya bilang, ayah selalu bersama kita, bahkan syahidnya ayah memastikan kita akan selalu bersama ayah dalam keadaan yang lebih baik dari keadaan kita saat ini...” Anak-anak itu tersenyum mendengar penuturan ibunya. 

Bahkan di sepanjang pertemuan dan wawancara dengan kami, anak-anak itu selalu tersenyum, seperti anak-anak yang menerima hadiah sangat istimewa yang tiada habis-habisnya.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger